Jasa Pembuatan Skripsi

Jasa Pembuatan Skripsi
Jasa Pembuatan Skripsi

Tuesday, December 6, 2011

Hakikat Pembelajaran di SD 2 : Hakikat Pembelajaran Di Kelas Tinggi

Hakikat Pembelajaran di SD

B. Hakikat Pembelajaran Di Kelas Tinggi
Kita telah membahas hakikat pembelajaran di kelas rendah. Usia kelas rendah ( 1, 2, 3 ) masih berada pada rentang usia dini, yang berada dalam rentang usia 6-9 tahun. Pada bahasan berikutnya kita akan membahas tentang hakikat pembelajaran di kelas tinggi. Apakah terdapat perbedaan antara pembelajaran di kelas rendah dan kelas tinggi? Coba anda maknai hakikat pembelajaran di kelas rendah agar anda dapat mengidentifikasi perbedaan dan persamaannya. Beberapa landasan psikologis dalam pembelajaran yang telah diuraikan pada hakikat pembelajaran di kelas rendah, teori-teori belajar tersebut sangat berpengaruh pada pembelajaran di kelas tinggi. Apabila dikaitkan dengan tahapan perkembangan kognitif menurut
Piaget rentang usia siswa kelas tinggi (4, 5, dan 6) SD berada dalam rentang usia 9-14 tahun. Rentang usia tersebut menurut Piaget termasuk dalam tahap operasi konkret dan operasi formal. Udin Wiranataputra (1997) mengemukakan bahwa: Tahap operasi formal merupakan tahap perkembangan kognitif paling tinggi dan merupakan tahap lebih matang dan lebih kompleks daripada tahap sebelumnya. Pada tahap ini mulai berkembang pemikiran tentang masa depan dan peran dewasa, kemampuan berfikir logis mengenai berbagai kemungkinan dan penalaran hipotesis ke pemikiran konkret. Misalnya pada tahap ini anak mulai punya cita-cita ingin meneruskan sekolah ke mana atau mau bekerja sebagai apa. Kemudian bila ia mengenal tiga warna; hijau, kuning, dan merah ia dapat membuat kombinasi warna hijau-kuning, hijau-merah, dan kuning-merah. Dengan demikian ia mengenal enam kelompok warna.
Secara lebih rinci Carin (1793;57) dalam Iskandar (1996:8) dalam Udin Wiranataputra (1997)menguraikan ciri-ciri anak pada tahap operasi formal dan seterusnya sebagai berikut:
1. Mempergunakan pemikiran tingkat yang lebih tinggi yang terbentuk pada tahap sebelumnya
2. Membentuk hipotesis melakukan penyelidkan/penelitian terkontrol dapat menghubungkan bukti dengan teori
3. Dapat bekerja dengan ratio proporsi, dan probabilitas
4. Membangun dan memahami penjelasan yang runit mencakup rangkaian deduktif dari logika (garis bawah dari penulis)
Pemkiran yang lebih tingi bersifat abstrak atau konseptual yang berbeda dari pemikiran yang konkret. Contohnya anak mulai dapat menghitung lama tempuh dari kota A ke kota B, dengan mengetahui jarak kota A dan kota B dan rata-rata kecepatan tempuh per jam. Anak tidak harus melakukannya sendiri berjalan atau berkendaraan dari kota A ke kota B. Itulah cara berfikir abstrak atau konseptual. Sedangkan hipotesis adalah salah satu bentuk proses konseptualisasi berupa merumuskan jawaban sementara atau dengan yang memerlukan pengujian dengan atau informasi. Misalnya bila ada sepiring nasi dan yang perlu makan 5 orang, dapat diduga bahwa setiap orang tidak akan merasa kenyang. Untuk mengujinya harus dicoba membagi sepiring nasi kepada anak yang sama usianya dan sama –sama merasa lapar. Bila ternyata dengan itu benar, artinya sesuai dengan pembuktian, hipotesis itu dapat disebut teas atau tesis atau kesimpulan teruji. Di lain pihak cara bekerja dengan ratio dapat dicontohkan sebagai berikut. Bila ada sebuah apel akan dimakan oleh tiga orang dengan hal yang sama, tentu saja setiap orang akan mendapat sepertiganya. Sedang yang dimaksud rangkaian logika deduktif adalah cara berfikir dari hal umum ke hal khusus atau dari teori ke fakta atau kenyataan. Misalnya ketika seorang guru akan menjelaskan tentang Zakat guru tersbut akan menjelaskan konsep zakat, baru ke atribut dari jakat itu apa saja. Akhirnya siswa secara logika bisa memahami bahwa zakat memerlukan perhitugan logis berasarkan ketentuan.. Karakteristik perkembangan berfikir anak usia kelas 4, 5, 6, sebagaimana telah kita bahas di muka memiliki implikasi terhadap proses pembelajaran yang harus dirancang. Bila di kelas 1, 2, 3 anak belajar melalui kegiatan yang banyak melibatkan pengalaman langsung dan belajar menyenagkan atau ( fun learning ) maka siwa kelas tinggi maka siswa kelas 4, 5, 6 anak perlu dikondisikan untuk dapat melakukan berbagai kegiatan yang menatang dan siswa sudah mulai melakukan percobaan atau eksperimen dan belajar memecahkan masalah. Dengan cara itu anak dapat membangun pengetahuan melalui penalaran abstrak dan konkret atau deduktif dan induktif.  

1. Penerapan Berbagai Kegiatan Belajar Di Kelas Tinggi
Upaya guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas tinggi diperlukan penguasaan bahan yang optimal, kemampuan memilih dan menggunakan strategi pembelajaran yang relevan dapat mengaktifkan siswa dalam belajar dan dituntut kepiawaian guru dalam melaksanakan pembelajaran yang menantang bagi siswa pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif dan menyenangkan serta mapu memilih dan menggunakan media pembelajaran yang bervariasi. Guru harus menguasai ragam strategi ataupun metoda yang dapat membelajarkan siswa. Sebagaimana dikemukakan Udin Wiranataputra (1997) Penerapan metode apa pun di kelas targetnya hanya satu yakni proses belajar siswa. Oleh karena itu dalam menerapkan metode kita harus selalu berpegang pada tercapainya intensitas belajar siswa secara optimal. Proses belajar dinilai optimal bila melahirkan perubahan perilaku secara bermakna. Ausubel (1974) merumuskan bahwa proses belajar dinilai bermakna (meaningful) bila dalam diri siswa terjadi perpaduan belajar awal atau kemampuan awal (entry behavior) dengan materi baru. Atau bila memakai formula Piaget (1986) proses belajar dapat dinilai optimal bila terjadi mekanisme proses asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi secara harmonis dan menghasilkan kemantapan skemata dalam pikiran.  

Berbagai temuan penelitian seperti dicarikan oleh Borich (1988) menunjukkan ada sejumlah perilaku guru yang besar sekali kontribusinya terhadap pembelajaran yang efektif sebagai berikut.
1. Kejernihan sajian guru
2. Variasi dan fleksibilitas panyajian
3. Tingkat orientasi guru pada pencapaian tujuan
4. Jumlah waktu yang dapat disediakan guru agar sebagian besar aktivitas siswa tercurah pada kegiatan akademik
Sementara itu Crowford dkk (1978) dalam Borich (1988) mengidentifikasi enam butir penting bagi guru sebagai berikut. Guru seyogyanya memiliki sistem aturan yang memungkinkan siswa dapat memenuhi kebutuhan personal dan prosedural secara bebas (Stalling & Kaskowitz, 1974; Brophy & Everston, 1974), misalnya kapan siswa diberi kesempatan bertanya. Guru seyogyanya menguasai kelas dan memonitor serta berkomunikasi mengenai kemajuan belajar siswa, misalnya dapat mengendalikan perilaku siswa (Stalling & Kaskowtz, 1974; Mac Donald, Elias, Stone, Wheeter & Lambert, 1975). Pada saat siswa bekerja secara mandiri guru harus berupaya agar tugas yang diberikan benar-benar bermakna dan mudah diselesaikan tanpa tergantung pada guru, misalnya mencari pengertian kata-kata tertentu dari kamus. (Stalling & Kaskowtz, 1974; Mac Donald, et al, 1975). Guru seyogyanya menekan sekecil mungkin atau mengurangi pemberian arahan dan pengaturan kelas secara lisan. Lebih baik buat jadwal kegiatan tertulis yang dapat dibaca oleh semua siswa, misalnya Cobalah atur tempat dudukmu oleh masing-masing kelompok. (Mac Donald et al, 1973). Seyogyanya guru memanfaatkan banyak sumber belajar dan lembar kerja yang dapat digunakan oleh siswa sesuai dengan kemampuannya. (Stalling & Kaskowtz, 1974; Brophy & Everton, 1976). Guru seyogyanya menghindari menandai dan mengatasi secepatnya perilaku menyimpang sebelum merembet kepada siswa lain. (Brophy & Everton, 1974, 1976). Mencermati kutipan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa hakikat pembelajran di kelas tinggi menuntut guru untuk mampu menguasai multi metoda dan multi media, menciptankan atau mengorganisir lingkungan belajar yang memungkinkan anak belajar penuh tantangan, mampu memecahkan masalah, mengelola kelas dan menggunakan media sumber belajar yang bervariasi. Sementara itu ada beberapa perilaku yang sangat membantu pencapaian pembelajaran yang efektif sebagaimana dikemukakan Borich (1978) dalam Udin Wiranataputra (1997)sebagai berikut.  
1. Pemanfaatan pendapat siswa, contoh “Tadi oleh Eri dikemukakan bahwa mandi secara teratur sangat penting”.
2. Pengarahan atau pemberian tuntunan, contoh “Marilah sekarang kita bersamasama memperlihatkan peta ini.Coba mana yang temasuk teluk”?
3. Penggunaan keterampilan bertanya contoh “Siapa Pangeran Diponegoro? Mengapa ia berperang melawan Belanda?”
4. Pelacakan gagasan siswa (Probing), contoh “ apa yang kau lihat pada saat Gerhana? Selain itu apa lagi? Dan seterusnya”.
5. Antusiasme atau semangat gairah, contoh “Ibu senang sekali melihat pekerjaan kalian dan seterusnya.”
Semua hal tersebut di atas perlu kita maknai secara cermat sebagai ramburambu bagi guru dalam mengimplementasikan pembelajaran di MI.
Dari sudut siswa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagaimana di dasarankan oleh Harmin (1974) dalam Udin Wiranataputra (1997) sebagai berikut.
1. Siswa harus merasa percaya diri dan siap belajar.
2. Siswa harus lebih banyak terlibat dalam proses.
3. Siswa harus dapat mengatur dan memotivasi sendiri.
4. Siswa harus merasa nyaman untuk berkomunikasi dengan siswa lain.
5. Siswa harus selalu trengginas dan siaga terhadap segala hal yang akan terjadi dalam proses belajar.
Mencermati urian tersebut beberapa hal yang harus dimiliki berkenaan dengan pembelajaran siswa di kelas tinggi yakni siswa sebagai subyek belajar harus memiliki percapaya diri, aktif, mampu berkomunikasi dan memiliki motivasi dan kesiapan dalam belajar.  


DAFTAR PUSTAKA
Banathy, Bela H. (1968), Instructional System. California: Feoron Publ.
Diaz. Carlos F. (2006), Touch the Future Teach. Boston bacon, permission Departement, 75 Arlingston street.
Hamalik, Oemar (1995), Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Hermawan, Asep Herry, Rusman & Deni Darmawan, (2003), Pengembangan Model
Pembelajaran, Bandung: Publikasi Jurusan Kurtek FIP UPI
Gagne, Robert M. (1987), Instructional Technology : Foundation. New Jersey. Prentice-Hall Inc
Jacobsen, Dvid, and Mardsha Weil, (1980), Methodes of Teaching, A skill Approch. Columbus: Merril Publishing Company
Moedjiono, (1993), Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Depdikbub Dirjen Dikti, Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan.
Sudjana, Nana (1989), Cara Belajar Siswa Aktif. Bandung: Sinar Baru Kerja sama dengan Lemlit IKIP Bandung
Tim Pengembangan MKDK Kurpem, (2002), Kurikulum dan Pembelajaran, Bandung. Publ. Jurusan Kurtek FIP UPI.
Sanjaya W.(2006) Strategi Pembelajaran berorientasi Standar Pendididkan, Jakarta Kencana Prenada Media.
Winataputra, Udin, S. (1997), Materi Pokok; Strategi Belajar Mengajar, Jakarta Depdikbud. UT.


Artikel Terkait: