Jasa Pembuatan Skripsi

Jasa Pembuatan Skripsi
Jasa Pembuatan Skripsi

Saturday, August 19, 2017

Jasa Buat Skripsi: download Skripsi Psikologi:Hubungan dukungan sosial dengan tingkat stres di sekolah pada siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang

Abstract

INDONESIA:
Program akselerasi merupakan pelayanan khusus yang diberikan kepada siswa cerdas istimewa (IQ>130) dengan kurikulum lebih cepat dibanding dengan program reguler. Program tersebut bertujuan mengoptimalkan bakat dan minat siswa. Akan tetapi dalam prakteknya pada saat yang sama program akselerasi juga dapat menjadi sumber stres tersendiri bagi siswa. Stres di sekolah adalah kondisi ketidaknyamanan siswa karena banyaknya tuntutan yang muncul dari peristiwa sehari-hari di sekolah, mengakibatakan ketegangan secara emosi, fisik, psikologis dan perilaku yang berdampak pada prestasi akademik maupun perkembangan siswa. Salah satu faktor yang dapat mereduksi stres adalah adanya dukungan sosial. Dukungan sosial adalah pemberian informasi, nasehat, bantuan nyata yang diberikan oleh individu kepada individu lain sehingga menimbulkan perasaan dicintai, diperhatikan, dipedulikan dan dihargai bagi individu yang menerimanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat dukungan sosial dan tingkat stres di sekolah siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang, serta mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan stres di sekolah pada siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang.
Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan kuantitatif korelasional. Responden dalam penelitian ini adalah seluruh siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang sebanyak 27 siswa. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik sampel jenuh. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah skala dukungan sosial dan skala stres sekolah. Analisa data yang digunakan adalah analisis korelasi Spearman's Rho dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 20.0 for windows.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang memiliki tingkat dukungan sosial yang tinggi dengan presentase 92,6% (25 siswa) dan 7,4% (2 siswa) memiliki dukungan sosial yang sedang. Sedangkan untuk tingkat stres di sekolah juga ditemukan bahwa mayoritas siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang pada kategori sedang dengan presentase 55,6% (15 siswa) dan 44,4% (12 siswa) memiliki tingkat stres di sekolah rendah. Hasil kolerasi variabel menunjukan bahwa terdapat hubungan negatif antara dukungan sosial dengan stres di sekolah. Hal tersebut terlihat dari nilai r = -0,385 p = 0,047 (p<0,05). Selain itu dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa aspek dukungan sosial yang paling tinggi memberi sumbangsih terhadap stres di sekolah adalah aspek dukungan instrumental yaitu sebesar 30,14% dengan (r = -0,549; p = 0,003 p<0,01), sedangkan dukungan informatif memberi sumbangsih 18,49% dengan (r = -0,381; p = 0,025 p<0,05) dan dukungan penghargaan memberi sumbangsih 14,51% dengan (r = -0,381; p = 0,050 p<0,05).
ENGLISH:
Acceleration program is a special service provided to students special smart (IQ> 130) with the curriculum faster than a regular program. This program aims to optimize the talents and interests of students. But in practice at the same time an acceleration program can also be a source of stress for students. Stress school is the condition of the student because of the many demands inconveniences that arise from daily events at school, make emotional tension, physical, psychological and behavioral impact on students' academic achievement and development. One of the factors that can reduce stress is the presence of social support. Social support is the provision of information, advice, real assistance given by an individual to another individual causing a feeling of being loved, cared, cared for and appreciated for individuals who receive it. This study aims to determine the level of social support and stress levels in school students acceleration MAN Denanyar Jombang, as well as determine the relationship between social support with stress levels in schools on student acceleration MAN Denanyar Jombang.
This research uses a correlational quantitative approach. Respondents in this study were all students acceleration MAN Denanyar Jombang as many as 27 students. Sampling in this study using the technique of saturated sample. The instrument used to collect data is the scale of social support and school stress scale. Data analysis used was Spearman's Rho correlation analysis using SPSS version 20.0 for Windows.
Results from this study indicate that the majority of students acceleration MAN Denanyar Jombang has a high level of social support with percentages of 92.6% (25 students) and 7.4% (2 students) have the social support being. As for the level of stress at school was also found that the majority of students acceleration MAN Denanyar Jombang in the category with a percentage of 55.6% (15 students) and 44.4% (12 students) have lower levels of stress at school. Variable correlation results showed that there was a negative relationship between social support and stress at school. It is seen from the value of r = -0.385 p = 0.047 (p <0.05). Also in this study also found that the social support aspect of the highest contributing to stress in schools is an aspect of instrumental support in the amount of 30.14% (r = -0.549; p = 0.003 p <0.01), while support informative contributing 18.49% to the (r = -0.381; p = 0.025 p <0.05) and the support award to contribute 14.51% (r = -0.381; p = 0.050, p <0.05).

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada dasarnya setiap anak dilahirkan dengan membawa kelebihan dan kekurangan masing-masing, salah satu kelebihan tersebut adalah anak yang memiliki kecerdasan istimewa atau berintelektual tinggi. Anak yang memiliki kecerdasan istimewa artinya anak yang memiliki kemampuan kecerdasan di atas rata-rata, atau dalam istilah lain disebut sebagai Anak Berbakat (AB). Menurut Santrock (2009: 283-284) anak berbakat sendiri adalah anak yang mempunyai inteligensi di atas rata-rata (IQ 130 atau lebih tinggi) dan/atau memiliki bakat yang luar biasa dalam beberapa bidang, seperti seni, musik atau matematika. Sedangkan Munandar (dalam Ali, 2007: 162) menjelaskan bahwa anak berbakat memiliki kemampuan untuk kerja yang tinggi di dalam aspek intelektual, kreativitas, seni kepemimpinan atau bidang akademik tertentu. Sementara itu, di Indonesia berdasarkan data dari BPS pada tahun 2006 diperkirakan terdapat sekitar 52.989.800 anak usia sekolah. Ini artinya Indonesia memiliki sekitar 1.059.796 anak cerdas/berbakat istimewa (Napitupulu, 2009). Dan di tahun 2010 di Indonesia menurut badan pusat statistik (BPS) telah memiliki sekitar 1,3 juta siswa yang berpotensi Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa (CIBI). Namun dari jumlah anak berbakat di tahun 2010 kurang lebih 0,7% (9.500) masih banyak siswa yang belum mendapatkan pelayanan yang semestinya, yakni 2 sangat minimnya pelayanan sekolah dalam mengoptimalkan kemampuan dari anak-anak berbakat tersebut. Data lain yang dikutip dari berita pendidikan, pada tahun 2010 di Indonesia ada 311 sekolah yang sudah menerapkan program layanan khusus untuk anak berbakat yang tersebar di 22 provinsi, baik sekolah negeri, swasta, maupun madrasah, dan yang terbanyak berada di provinsi Jawa Timur (Republika.co.id, diunduh pada November 2014). Salah satu bentuk pelayanan khusus bagi anak berbakat itu adalah program akselerasi.
Kata aksel menurut Colangelo (1991) dalam (Hawadi, 2006: 5-6) adalah pelayanan yang diberikan (service delivery) dan kurikulum yang disampaikan (curriculum delivery). Bentuk model pelayanan akselerasi dapat diartikan, sebagai taman kanak-kanak atau perguruan tinggi pada usia muda, percepatan kelas, dan mengikuti pelajaran tertentu pada kelas diatasnya. Sedangkan untuk model kurikulum dari program akselerasi dapat diartikan sebagai percepatan materi pengajaran dari yang seharusnya di kuasai siswa saat itu, sehingga kegiatan pembelajarannya dapat diselesaikan lebih cepat sekitar setahun atau dua tahun di banding siswa sebayanya. Adapun tujuan dari program akselerasi menurut Felhuse, Proctor dan Black (1986) dalam (Hawadi, 2006: 6-7) adalah memelihara dan memenuhi kebutuhan minat siswa yang tergolong gifted terhadap sekolah, mendorong siswa agar mencapai prestasi akademis yang baik dan menyelesaikan pendidikan dalam tingkat yang lebih tinggi. Dari tujuan itulah maka model pembelajaran dari 3 akselerasi ini dikelompokkan dalam satu kelas khusus dengan penambahan kegiatan pengayaan dalam proses pembelajarannya seperti, studi bahasa asing, studi lapangan, dan kompetisi akademis (Hawadi, 2006: 22). Program akselerasi itu sendiri dapat memberikan beberapa keuntungan dan juga menjadikan permasalahan tersendiri bagi anak berbakat yang berada di program akselerasi. Adapun keuntungan yang nyata, menurut Kolesnik (1970) dalam (Alsa 2007: 8) yaitu; lebih memberikan tantangan, memberi kesempatan untuk belajar mendekati kesesuaian dengan kemampuan yang dapat mendorong motivasi belajar, terstimulasi oleh lingkungan sosial karena berada dalam satu kelas dengan siswa yang memiliki kemampuan intelektual sebanding, memberikan tantangan dan tidak memungkinkan bermalas-malasan dalam belajar, dapat lulus lebih cepat sehingga memungkinkan meraih gelar sarjana pada usia yang lebih relatif muda, dan tidak banyak membebani biaya orangtua dan pemerintah. Selain diperoleh keuntungan program akselerasi sebagaimana penjelasan di atas, Kolesnik (1970) dalam (Alsa, 2007: 11) juga menjelaskan beberapa efek negatif atau permasalahan yang didapat dari adanya program akselerasi tersebut. Diantaranya yaitu; kurangnya kesempatan untuk bersosialisasi dengan teman sebaya karena adanya loncat kelas, menimbulkan masalah sosial dan emosional, adanya beban tugas belajar yang terlalu banyak bisa menjadi tekanan (stressor) bagi kesehatan mental siswa, kesempatan untuk latihan kepemimpinan 4 berkurang karena masalah fisik dan kematangan sosialnya belum sematang siswa lainnya yang lebih tua, program akselerasi hanya mengembangkan perkembangan intelektual tapi tidak dalam aspek-aspek lainnya. Sisk (1986) dalam (Hawadi, 2006: 11) juga menambahkan dampak negatif akselerasi pada diri siswa diantaranya adalah mengalami kebosanan, fobia sekolah, dan kekurangan hubungan teman sebaya. Adanya kelemahan dari program akselerasi ini dimungkinkan karena ketidaksiapan siswa terhadap tumpukan dan tuntutan berbagai tugas akademik pada kelas akselerasi sehingga memberikan stres pada siswa. Stres adalah kondisi individu yang mengalami ketidakseimbangan antara situasi yang menuntut dengan perasaan individu atas kemampuannya dalam menyelesaikan atau menghadapi tuntutan-tuntutan tersebut (Kendall dan Hamman 1998 dalam Safaria & Nofrans, 2009: 28). Dan dalam devinisi lain stres merupakan respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stressor) yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang untuk menanganinya (coping) (Santrock, 2003: 557).
Ketidakseimbangan dengan tuntuan atau lingkungan yang menekan menurut Helmi (2000) dalam Safaria & Nofrans (2009: 27) akan menimbulkan efek negatif, misalnya pusing, tekanan darah tinggi, mudah marah, mudah sedih, sulit berkonsentrasi, nafsu makan bertambah, sulit tidur, ataupun jika perokok akan merokok terusmenerus, dan jika ditinjau dari sumber stres (stressor) stres merupakan kekuatan yang menimbulkan tekanan dalam diri dan muncul apabila 5 tekanan yang dihadapi individu melebihi batas maksimum, sedangkan dilihat dari sisi interaksi timbulnya stres karena adanya interaksi antara tekanan dari luar dengan karakteristik individu, dan hal ini menjadi penentu bahwa berbagai tekanan dari luar menimbulkan stres atau tidak. Adapun definisi stres di sekolah menurut Desmita (2012: 291) adalah ketegangan emosional yang muncul dari peristiwa-peritiwa kehidupan di sekolah dan perasaan terancamnya keselamatan atau harga diri siswa, sehingga memunculkan reaksi-reaksi fisik, psikologis, dan tingkah laku yang berdampak pada penyesuain psiskologis dan prestasi akademik. Adapun dimensi atau aspek stres di sekolah pada siswa menurut Desmita (2012: 292) adalah adanya berbagai tuntutan sekolah yang timbul dari empat hal yaitu adanya; (1) physical demands (tuntutan fisik); keadaan iklim ruang kelas, temperatur yang tinggi (temperature extremes), pencahayaan dan penerangan (ligthing and illumination), sarana dan prasana penunjang pembelajaran, kebersihan dan kesehatan sekolah keamanan sekolah dan sebagaianya. (2) Task demands (tuntutan tugas), ditunjukkan dengan adanya berbagai tugas-tugas pelajaran (academic work) yang menimbulkan perasaan tertekan pada siswa, seperti; classwork, dan homework, tuntutan kurikulum, menghadapi ujian atau ulangan. (3) Role demands (tuntutan peran), sekumpulan kewajiban yang diharapkan dan harus dipenuhi oleh siswa tertkait dengan pemenuhan fungsi pendidikan di sekolah. Seperti; harapan memiliki nilai yang memuaskan, mempertahankan prestasi sekolah, memiliki ketrampilan yang lebih. Dan 6 (4) Interpersonal demands (tuntutan interpersonal), siswa harus mampu melakukan interaksi sosial atau menjalin hubungan yang baik dengan orang lain di sekitarnya. Fimian dan Cross (dalam Desmita, 2012: 288) juga menyampaikan bahwa sekolah merupakan sumber stres yang yang utama bagi peserta didik, hal tersebut terjadi karena waktu yang dimiliki oleh siswa banyak dihabiskan di sekolah. Selain itu, penyebab atau faktor umum pemicu stres di sekolah pada siswa dalam penelitian Savitri (2012) dijelaskan karena adanya metode atau cara guru dalam mengajar yang dianggap membosankan, banyaknya tugas yang tidak sesuai dengan kapasitasnya, seringnya diberikan ulangan oleh guru, ejekan atau hinaan teman karena nilai ujian ataupun prestasi yang rendah dan adanya pelajaran yang susah dan sangat membosankan. Fenomena yang sama juga terjadi di salah satu lembaga pendidikan yang menerapkan program akselerasi untuk anak cerdas istimewa/berbakat yaitu Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Denanyar Jombang. Hal ini juga dibuktikan dengan hasil survey awal yang telah dilakukan oleh peneliti pada tanggal 23 Januari 2015 pada siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang, survey awal ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa banyak siswa akselerasi yang memiliki kecenderungan stres di sekolah. Dan ternyata hampir keseluruhan dari siswanya mengalami kecenderungan stres di sekolah, survey awal ini dilakukan pada 23 siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang dan hasilnya menunjukan bahwa 17% 7 (4 siswa) siswa akselerasi mengalami kecenderungan stres di sekolah tingkat tinggi, lalu sebanyak 56% (13 siswa) mengalami kecenderungan tingkat stres di sekolah sedang, dan 26% (6 siswa) memilik tingkat kecenderungan stres di sekolah rendah. Meskipun berbeda-beda kategori hal ini berarti bahwa siswa akslerasi MAN Denanyar Jombang hampir semuanya mengalami kondisi kecenderungan stres di sekolah. Berikut diagram hasil survey stres di sekolah: Diagram 1.1 Hasil Suvey Stres di sekolah dari 23 Siswa Akselrasi MAN Denanyar Jombang Hal tersebut dapat terjadi karena siswa akselerasi merasa lelah akan banyaknya tugas yang diberikan dan terbatas oleh waktu, adanya guru memberikan tugas diluar kemampuan siswa, padatnya jadwal seharihari di kelas akselerasi, kurang terbiasa dengan metode pembelajaran akselerasi yang relatif cepat sehingga membuat siswa akselerasi merasa kesulitan dalam mengerjakan tugas, membagi waktu belajar dan bermain, belum lagi kegiatan pondok pesantren serta kurangnya waktu istirahat. tinggi sedang rendah 8 Selain itu siswa akselerasi kebanyakan mengalami masalah interpersonal pula karena kurangnya waktu untuk bercanda dengan teman sebaya, mendapat tekanan dari lingkungan yang tidak suka dengan akselerasi seperti sering dikucilkan teman-teman reguler yang sebaya, sering dijadikan bahan hinaan dan perilaku bullying dari teman-teman nonakselerasi (reguler). Sehingga mengakibatkan beban siswa akselerasi ini semakin menumpuk bahkan tidak sedikit diantara mereka yang merasa menyesal masuk diakselerasi dan terbesit untuk keluar dari kelas akselerasi dan alasan lain pemicu kecenderungan stres di sekolah pada siswa akselerasi ini juga tidak sedikit diantara mereka yang mengaku akan motivasi mereka masuk di program akselerasi ini bukan berasal dari diri sendiri melainkan adanya sedikit arahan dari oang tua masing dan juga dari pihak sekolah (Hasil survey, 23 Januari 2015). Selain itu, guru BK dan ketua pengelola akselerasi MAN Denanyar juga menyampaikan bahwa hampir 80% dari siswa akselerasi mengalami kecenderungan stres karena banyaknya tekanan (preasure), hal ini dibuktikan dengan adanya siswa akselerasi banyak yang mengadu ketika berkonsultasi seperti, mengeluh akan banyaknya tugas yang harus diselesaikan, pelajaran yang membosankan, merasa kesulitan tidak mampu mengikuti pelajaran di akselerasi, persaingan di kelas dan kurangnya refreshing, bahkan sampai ada dua siswa akselerasi yang pindah ke kelas reguler bukan karena alasan lain akan tetapi juga karena tidak mampu 9 mengikuti pembelajaran yang ada di kelas akselerasi (Wawancara, 9 November 2014).
 Hal yang sama juga didapat peneliti ketika observasi di kelas XII akselerasi MAN Denanyar Jombang, peneliti mendapatkan kesempatan untuk ikut serta mengisi pelajaran Bimbingan Konseling (BK) secara langsung di kelas akselerasi, didapatkan banyak siswa akselerasi yang tidak bersemangat di dalam kelas hal ini terlihat dengan banyaknya siswa yang menyandarkan kepalanya diatas meja wajah terlihat suntuk, lemas dan mengantuk karena banyaknya materi pelajaran dan tugas setiap hari. Selain itu juga adanya respon negatif dari para siswi akselerasi mulai dari keluhan tentang materi pelajaran yang sangat banyak, adanya guru yang sering menekan bahwa anak akselerasi dituntut harus lebih banyak belajar dan lebih cepat dalam menguasi pelajaran, adanya metode pembelajaran yang monoton ketika yang menyampaikan materi, sehingga membuat para siswa akselerasi merasa bosan berada di kelas akselerasi. Kondisi lain yang membuat beberapa siswa akselerasi tidak nyaman yaitu ketika mendapat ejekan maupun perlakuan yang tidak layak seperti diejek, dijadikan bahan bercandaan, dikucilkan oleh siswa lain ataupun dari guru (Observasi dan Wawancara 8 November 2014). Penjelasan fenomena yang terjadi di atas membuktikan bahwa siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang mengalami kecenderungan stres di sekolah. Sehingga, adanya indikasi stres di sekolah ini menyebabkan 10 peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di MAN Denanyar Jombang karena adanya faktor-faktor yang memicu timbulnya sumber stres di sekolah pada siswa ini seharusnya segera untuk diselesaikan sebelum memberikan efek negatif tersendiri bagi siswa. Beberapa penelitian terdahulu juga menunjukkan adanya fenomena stres siswa yang berkaitan dengan kehidupan di sekolahnya, misalnya penelitian Taufik dan Ifdil (2013: 147) terhadap kondisi tingkat stres akademik siswa SMA Negeri kota Padang, menunjukkan hasil bahwa sebesar 71,8% kategori sedang, sementara itu 13,2% tingkat stres akademik tinggi dan 15% siswa menunjukkan tingkat stres akademik rendah.
 Hal ini berarti bahwa kondisi siswa SMA Negeri kota Padang merasakan kondisi stres akademik, akan tetapi mereka masih dapat mengontrol atau mengelolanya. Fenomena stres di sekolah ini juga terjadi di Sekolah Menengah Atas sebagaimana hasil penelitian dari Savitri (2012) pada siswa SMA 1 Puri Mojokerto yang menujukkan hasil adanya stres di sekolah. Selain itu dalam penelitian ini juga dikemukakan hasil yang berkaitan dengan adanya para siswa memaknai stres di sekolah sebagai suatu keadaan atau kondisi dimana mereka mengalami tekanan di sekolah yang disebabkan karena adanya tugas yang tidak sesuai dengan kapasitasnya, bermasalah dengan teman, dan bosan terhadap pelajaran. Selain itu juga disampaikan pula ciriciri siswa ketika merasa stres adalah tidak dapat berkonsentrasi dalam 11 belajar, resah atau tidak tenang, sering marah-marah, merasa pusing ketika berpikir, murung atau diam dan suka melamun. Sekaligus memberikan dampak negatif seperti, tidak dapat berkonsentrasi dalam belajar, nilai pelajaran jadi menurun atau rendah, serta malas untuk bersekolah. Selain itu dalam penelitian Nasruddin (2012) juga menunjukkan fenomena yang sama yaitu adanya stres di sekolah yang di alami siswa SD Full Day dan siswa SD Full Day alam, menunjukkan hasil bahwa siswa SD Full Day sebanyak 2,38% mengalami stres di sekolah dalam kategori sangat tinggi, 28,57% stres di sekolah dalam kategori tinggi, 45,24% mengalami stres di sekolah kategori sedang, 16,64% mempunyai stres di sekolah dalam kategori rendah dan 7,14% siswa mempunyai stres di sekolah sangat rendah. Sedangkan pada SD Full Day Alam menunjukkan 2,63% mempunyai stres di sekolah dalam kategori sangat tinggi, 23,68% kategori stres di sekolah tinggi, 47,37% dalam kategori stres di sekolah sedang, 23,68% dalam kategori stres di sekolah rendah, dan terdapat 25,63% siswa mengalami stres di sekolah sangat rendah. Adapun Menurut pendapat Smet 1994 (dalam Gunawati dkk., 2004: 98-99) faktor yang mempengaruhi stres salah satunya dilihat dari faktor kualitas individu berhubungan dengan lingkungan sosialnya, yaitu dukungan sosial yang diterima dan integrasi dalam hubungan interpersonal. Dukngan sosial ini menurut Baron & Donn (2005) memiliki peran penting dalam mereduksi stres. Pendapat Smet (1994:139) juga 12 menyampaikan bahwa semakin tinggi dukungan sosial akan mengurangi berbagai dampak penyakit seperti; dapat meningkatkan kualitas kesehatan dengan mengurangi stres yang dialami oleh individu. Dukungan sosial menurut Gottlieb (dalam Smet, 1994: 135) merupakan adanya pemberian informasi atau nasihat secara verbal maupun non-verbal, pemberian bantuan nyata, atau tindakan yang diperoleh dari hubungan keakraban sosial atau hanya didapat karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku pihak penerima. Sarason dalam (Kumalasari, 2012: 25) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang lain yang dapat diandalkan, menghargai dan memberikan kasih sayang. Selain itu adanyanya coping terhadap situasi yang menekan dan keberadaan dari kualitas individu dalam memberikan dukungan sosial juga dapat menjadikan individu berbeda dalam menerima efek negatif dari stres (Fausiah & Julianti, 2005: 14). Selanjutnya dukungan sosial dapat diberikan kepada individu melalui empat bentuk aspek sebagaimana yang disampaikan oleh House, yaitu (dalam Smet, 1994: 136-137): 1) dukungan emosional, merupakan ungkapan ekspresi empati, kepedulian dan perhatian terhadap individu yang stres, 2) dukungan penghargaan, ditunjukkan dengan ukapan hormat (penghargaan) positif, 3) dukungan instrumental, merupakan bentuk bantuan langsung atau hal yang paling dibutuhkan individu ketika stres, 13 dan bentuk terakhirnya 4) dukungan informatif: memberikan nasehat, petunjuk-petunjuk, saran, atau umpan balik. Johnson dan Johnson (dalam Iksan, 2013: 56) juga menjelasakan bahwa dukungan sosial ini dapat diperoleh dari keberadaan orang-orang penting yang dekat (significant others) bagi individu yang membutuhkan bantuan, seperti; orangtua, teman, guru dan yang lainnya membuat individu merasa lebih mudah dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
Menurut Cannon, Pasch, Tschann, & Flores (dalam Rahardjo: 2008) individu yang mendapatkan banyak dukungan dari orang disekitarnya akan lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami depresi, serta lebih kecil pula kemungkinannya untuk terlibat dalam perilaku menyimpang, seperti mengonsumsi obat-obatan terlarang, minumminuman beralkohol, dan melakukan tindakan kriminal. Pendapat yang hampir sama juga sampaikan oleh Smet (dalam Putri, 2011: 106) bahwa dukungan sosial merupakan pertolongan atau bantuan yang diterima oleh individu dari hasil interaksinya dengan lingkungan. Dengan adanya dukungan sosial yang diperoleh dari lingkungan tersebut maka indvidu akan lebih sehat secara fisik dan psikisnya daripada individu yang tidak menerima dukungan sosial. Sejumlah penelitian terdahulu telah menunjukkan hubungan yang erat antara dukungan sosial dengan stres karena banyaknya tekanan. Dikutip dari penelitian Putri (2011) yang berjudul “Hubungan Dukungan 14 Sosial Terhadap Stres Kerja Pada Karyawan Balai Besar Wilayah Sungai Pemali Juana Semarang” pada hasil penelitiannya menunjukan adanya hubungan yang sangat signifikan antara dukungan sosial dengan stres kerja dengan skor nilai rxy= -0,530 dengan p<0,01. Ini berarti semakin besar dukungan sosial yang diberikan maka semakin rendah stres kerja yang muncul. Sebaliknya semakin rendah dukungan sosial yang diberikan maka semakin tinggi stres kerja yang muncul. Pada penelitian Puspitasari dkk. (2010) juga menunjukan bahwa dukungan sosial teman sebaya bermanfaat untuk mengurangi kecemasan menjelang UN pada siswa kelas XII SMA Negeri 1 Surakarta. Hal tersebut terlihat dari hasil analisisnya bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara dukungan sosial teman sebaya dan kecemasan menghadapi Ujian Nasional (r = -0,208 dan p ><0,05). Ini berarti semakin tinggi dukungan sosial yang diperoleh, kecemasan siswa rendah terhadap Ujian Nasional (UN). Dukungan sosial memberikan sumbangan yang efektif pada kecemasan menghadpi UN dengan persentase 4,5% saja dan 95,7% dipengaruhi oleh faktor lain. Selain itu pada penelitian Purba dkk. (2007) juga menunjukan hasil yang hampir sama bahwa dukungan sosial memberi sumbangan yang dominan untuk mengurangi level burnout yang dialami guru. Hal tersebut ditunjukan dengan hasil analisis datanya dengan nilai r = - 0.761, a = 0,005; artinya bahwa dukungan sosial berpengaruh negatif terhadap 15 burnout, dimana semakin besar dukungan sosial yang diperoleh akan mengurangi level burnout yang dialami guru. Serta perolehan nilai R² = 0,580; menunjukkan sumbangan variabel dukungan sosial terhadap burnout yang dialami guru sebesar 58% dan sisanya 42% dipengaruhi oleh faktor lain. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian ini dengan batasan masalah pada kondisi stres di sekolah dalam menghadapi berbagai tuntutan di sekolah yang dihubungkan dengan dukungan sosial yang dapat mengurangi masalah stres di sekolah tersebut.
 B. Rumusan Masalah
 1. Bagaimana tingkat dukungan sosial pada siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang?
 2. Bagaimana tingkat stres di sekolah siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang?
 3. Adakah hubungan antara dukungan sosial dengan stres di sekolah pada siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang? 
 C. Tujuan Penelitian 
 1. Untuk mengetahui tingkat dukungan sosial pada siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang.
 2. Untuk mengetahui tingkat stress di sekolah siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang
 3. Mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan stress di sekolah pada siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang.
 D. MANFAAT PENELITIAN 
 1. Manfaat Teoritis  
a) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih dalam pengembangan psikologi positif yang berkaitan dengan ranah psikologi klinis, psikologi sosial, psikologi perkembangan dan psikologi pendidikan. Dan khususnya mengenai bagaimana dukungan sosial (social support) dapat mereduksi stres di sekolah pada siswa akselerasi.
 b) Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi penelitian lebih lanjut yang' berkaitan dengan dukungan sosial dalam mengurai stres di sekolah yang dialami oleh siswa akselerasi maupun siswa reguler. 
 2. Manfaat Praktis 
 a) Bagi sekolah Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai stres di sekolah yang dirasakan oleh siswa-siswi akselerasi MAN Denanyar Jombang, dan memberikan alternatif penanganan dengan memahami akan makna pentingnya dukungan sosial bagi siswa-siswi akselerasi baik dukungan dari orang tua, guru, teman sebaya dan lingkungan sekolah. Sehingga dapat memberikan pelayanan yang layak sekaligus dapat 17 mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh siswa-siswi akselerasi itu sendiri. b) Bagi siswa Siswa dapat mengetahui cara mengatasi stres di sekolah dengan berbagai tindakan positif yang dapat diperoleh salah satunya dengan dukungan dari orang tua, guru, teman sebaya, dan juga lingkungan sekolah.> 



Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Hubungan dukungan sosial dengan tingkat stres di sekolah pada siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD

Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment