Jasa Pembuatan Skripsi

Jasa Pembuatan Skripsi
Jasa Pembuatan Skripsi

Monday, August 7, 2017

Jasa Buat Skripsi: download Skripsi Psikologi: Perbedaan kebahagiaan pasangan pernikahan dengan persiapan dan tanpa persiapan pada komunitas Young Mommy Tuban

Abstract

INDONESIA:
Kebahagiaan dalam berumahtangga merupakan hal yang sangat diharapkan oleh setiap pasangan pernikahan. Pada usia dewasa muda, tugas perkembangan yang harus diselesaikan adalah intimacy versus isolation tetapi ketika tugas perkembangan pada tahap dewasa muda tidak terlaksanakan dengan baik, maka akan membuka kemungkinan konflik dalam rumah tangga dan ketika konflik tersebut tidak dapat termanage dan terselesaikan dengan baik dapat berakhir dengan sebuah perceraian. Oleh sebab itu, diperlukan adanya persiapan pernikahan agar mendapati kehidupan pernikahan yang lebih berbahagia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kebahagiaan pasangan pernikahan dengan persiapan dan tanpa persiapan. Subjek penelitian ini adalah anggota komunitas Young Mommy Tuban dengan sampel penelitian sebanyak 44 orang.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif dengan teknik pengambilan sampel secara purposive sampling. Pengambilan data menggunakan dua skala, yaitu skala adaptasi dari Authentic Happiness Scale yang disusun oleh Martin Seligman (1980) terdiri dari 23 item dan skala Persiapan Pernikahan yang disusun berdasarkan teori Blood (1978) yang terdiri dari 26 aitem. Metode analisis yang digunakan adalah analisis uji-T.
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan hasil sebagai berikut: pada pasangan pernikahan dengan persiapan terdapat kategori memiliki kebahagiaan tinggi 100% dari total 22 orang dan pasangan pernikahan tanpa persiapan terdapat katagori tinggi sejumlah 45.5% dengan jumlah 10 orang dari total 22 orang. Sedangkan pada hasil uji-T diketahui pasangan yang menikah dengan persiapan memiliki mean 153.50 sedangkan pasangan yang menikah tanpa persiapan memiliki Mean= 87.50. hal ini menunjukkan terdapat perbedaan, kebahagiaaan pasangan yang menikah dengan persiapan lebih tinggi daripada pasangan tanpa persiapan.
ENGLISH:
Happiness in a household is feeling expected by every couple. In young adultery, development role that must be done is intimacy versus isolation however when development role in young adultery does not well implemented, household conflicts are relatively happen. When those conflicts does not well managed as well as well solved, encourage the divorce. Thus, marriage preparation is highly needed to gain happier marriage.
This analysis attempts to discover happiness differences between prepared couple and unprepared couple. Subject of this analysis is the members of Young Mommy Community Tuban using forty four respondents.
Method used in this analysis is qualitative method using sampling technique of purposive sampling. Data are taken from two scales including adaptation scale from Authentic Happiness Scale proposed by Martin Seligman (1980) which consists of 23 items. While the second is prepared marriage which is arranged based on Blood Theory (1978) including 26 items. Method used in this analysis is T-test.

Based on result in this analysis, discover the results as: in prepared couple categorized have high level of happiness 100 % from total 22 people and unprepared couple has high category of 45.5 % from the sum of 22 people . While the result of T-test proposes prepared young adultery own mean of 153.50. While unprepared marriage couple own mean of 87.50. This creates the difference; happiness of prepared couple is higher than unprepared marriage couple.



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial yang memiliki keinginan untuk menjalin hubungan dengan orang lain dan tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia diciptakan untuk hidup berpasangpasangan guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang hanya dapat dipenuhi dengan memiliki pasangan. Hubungan yang terjalin dapat berupa hubungan pertemanan, persahabatan, hidup bersama (cohabitation), dan hubungan pernikahan melalui institusi pernikahan. Meskipun dengan hidup bersama dapat menjadi alternatif untuk menggantikan pernikahan, tetapi sebagian besar manusia tetap memilih untuk menjalani pernikahan, karena pernikahan diikat dalam sebuah institusi yang legal. Dalam hubungan pernikahan tidak menjadi rahasia umum lagi, bahwa sebuah bahtera rumah tangga tidak pernah lepas dari konflik. Rumah tangga yang dibangun dengan ikatan pernikahan ibarat sebuah kapal yang berlayar dengan suami sebagai nahkoda dan istri sebagai assistennya, yang suatu saat akan oleng jika diterpa oleh ombak samudera kehidupan. Pernikahan menurut Duvall & Miller adalah “Socially recognized relationship between a man and woman that provider for sexual relationship, legitimates childbearing and establishes a division of labour between 2 spouses” .1 "Hubungan antara seorang pria dan wanita yang diakui oleh lembaga sipil, dengan tujuan untuk hubungan seksual, melegitimasi melahirkan keturunan dan menetapkan pembagian kerja antara pasangan ". Didasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa pernikahan adalah jembatan antara pria dan wanita untuk menyatukan visi dan misi hidup mereka dengan bekerjasama, saling bahu membahu untuk mencapai tujuan yang sama yaitu kebahagiaan dalam rumah tangga. Kebahagiaan merupakan salah satu hal yang menjadi tujuan dan diharapkan dari sebuah pernikahan. Dalam mencapai suatu kebahagiaan pernikahan bukanlah suatu hal yang mudah karena kebahagiaan pernikahan akan tercapai apabila pasangan suami istri memiliki kualitas interaksi pernikahan yang tinggi. Dalam suatu pernikahan terkadang apa yang diharapkan oleh masing-masing individu tidak sesuai dengan kenyataan setelah individu tersebut menjalani bahtera rumah tangga. Pernikahan menuntut adanya perubahan gaya hidup, menuntut adanya penyesuaian diri terhadap tuntutan peran dan tanggungjawab yang baru baik dari suami maupun istri. Ketidakmampuan untuk melakukan tuntutan-tuntutan tersebut tidak jarang menimbulkan pertentangan, perselisihan dan bahkan berakhir dengan perceraian.2 Suatu hubungan pernikahan dapat berjalan langgeng selamanya dan dapat pula bercerai di tengah perjalanannya. Pernikahan yang berhasil 1 Dra.Sri Supriantini. (2002). Hubungan Antara Pandangan Peran Gender Dengan Keterlibatan Suami Dalam Kegiatan Rumah Tangga. Tesis. Fakultas Kedokteran Program Studi Psikolgi Universitas Sumatera Utara: digitized by USU digital library 2 Eva Meizara Puspita Dewi, Basti. (2008). Konflik perkawinan dan model penyelesaian konflik pada pasangan suami istri. Jurnal Psikologi Vol:2. No:1. P:43 3 merupakan hal yang diharapkan setiap pasangan. Ada beberapa kriteria yang diungkapkan oleh para tokoh dalam mengukur keberhasilan pernikahan. Kriteria tersebut diantaranya: (a)awetnya suatu pernikahan, (b)kebahagiaan suami dan isteri, (c)kepuasan pernikahan, (d)penyesuaian seksual, (e)penyesuaian pernikahan, dan (f) kesatuan pasangan. 3 Menurut Erikson, pada usia dewasa muda, tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikan adalah intimacy versus isolation4 . Menurut Hall & Lindzey pada tahap ini, dewasa muda siap untuk menjalin suatu hubungan intim seperti persahabatan dan hubungan kerja serta hubungan cinta seksual. Mereka siap untuk mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memenuhi komitmen dengan orang lain, walaupun harus disertai dengan kompromi dan pengorbanan. Komitmen yang dimaksud adalah komitmen pribadi dalam hubungan intim, yang salah satunya berupa pernikahan. Jika dewasa muda tidak dapat mengembangkan hubungan intim dengan orang lain, maka yang terjadi adalah isolasi. Diantaranya hal yang menghambat pengembangan hubungan intim dengan orang lain adalah ketidakmampuan untuk memikul tanggung jawab5 . Akan tetapi ketika tugas perkembangan pada tahap dewasa muda tidak terlaksanakan dengan baik, maka akan membuka kemungkinan konflik dalam rumah tangga yang bisa datang dan menghampiri keharmonisan hubungan setiap pasangan. Bahkan ketika konflik tersebut tidak dapat termanage dan 3 Iis Ardhianita, Budi Andayani. (2009). Kepuasan Pernikahan Ditinjau dari Berpacaran dan Tidak Berpacaran. Jur psikologi. Vol.32, No.2. P:102 4 Diane, E.P., Sally, W.O., Ruth, D.F. (2004). Human development. (9th ed). USA: Mc Graw-Hilll Companies, Inc. h:684. 5 Ibid. h:684. 4 terselesaikan dengan baik akan berakhir dengan sebuah perceraian. Dag Hammarskjold menyatakan konflik pernikahan merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan.6 Pasangan suami istri biasanya berusaha menghindar dari konflik dan pertengkaran yang lebih lanjut, misalnya pergi tidur bila istri atau suami telah memulai suatu pertengkaran atau pergi keluar rumah agar pertengkaran tidak bertambah berat. Menurut Wright pernikahan yang tidak bahagia dan banyak mengalami konflik merupakan penyebab serius terjadinya depresi. Roy menyebutkan bahwa lebih dari 50% penderita depresi melaporkan masalah-masalah pernikahan.7 Saat menghadapi konflik, setiap pasangan lebih berusaha menyelesaikannya. Tetapi dalam rumah tangga, tidak semua pasangan mampu menghindari konflik atau mampu mengelola konflik yang sudah terjadi dengan baik. Konflik yang terus dipendam suatu saat akan memuncak dan menyebabkan suatu pertengkaran yang hebat. Perasaan kecewa, frustasi, dan stress yang dipendam akan menyebabkan timbulnya penyakit seperti maag, ketegangan otot, denyut jantung meningkat.8 Hasil penelitian Coney juga mengungkapkan bahwa depresi berkaitan erat dengan adanya kekacauan pernikahan, yang ditandai dengan adanya ketergantungan yang berlebihan, hambatan dalam berkomunikasi, menarik diri, perasaan benci dan amarah yang meluap, friksi atau perselisihan, serta berbagai perasaan negatif yang kuat. Gove mengungkapkan bahwa salah satu faktor penentu kesehatan mental 6 Sawitri S. Sadarjoen. (2005). Konflik Marital. Bandung: PT.Refika Aditama. h:3 7 Erni Pujiastuti & Sofia Retnowati. (2004). Kepuasan Pernikahan dengan Depresi Pada Kelompok Wanita Menikah yang Bekerja Dan Tidan Bekerja. Humanitas: Indonesian Psychologycal Journal Vol.1 No.2. P:2 8 Sawitri S. Sadarjoen. Op.Cit. h:2 5 seseorang adalah kualitas afeksi terhadap pernikahannya, atau dengan kata lain adanya kepuasan pernikahan. Bila seseorang merasa puas dan bahagia akan pernikahan yang dijalani, maka dapat berpengaruh pada cara pendangnya terhadap diri, lingkungan, maupun masa depannya, juga terhadap kesehatan mental dan fisik.9 Konflik dalam pernikahan dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, baik dalam ruang lingkup yang besar maupun yang kecil, konflik dapat terjadi tanpa mengenal lama atau barunya usia pernikahan tersebut. Konflik seringkali terjadi karena ketidaksiapan seseorang untuk menerima perbedaan, misalnya seperti perbedaan kebiasaan sehari-hari, perbedaan pola pandang, perbedaan etnis ataupun kebudayaan dari daerah asal mereka dan tidak jarang konflik dalam rumah tangga diakibatkan oleh hal-hal yang sepele.
 Menurut Sadrajoen, konflik-konflik yang muncul pada pernikahan dapat ditelusuri dari harapan-harapan kedua pasangan tentang apa pernikahan dan apa yang seharusnya tidak terjadi pada pernikahan tersebut. Pada umumnya, pasangan pernikahan tidak mengungkapkan harapan-harapannya secara terbuka untuk mengidealkan setiap harapan-harapannya tentang pernikahan. Akibatnya, harapan kedua pasangan mungkin tidak akan terpenuhi sehingga akhirnya membuat mereka mengalami gangguan ilusi tentang status pernikahannya.11 9 Erni Pujiastuti & Sofia Retnowati. Loc.Cit. h:2 10 Sawitri S. Sadarjoen. Op.Cit. h:35. 11 Ibid. h:6 6 Ada banyak sekali pemicu konflik dalam pernikahan diantaranya permasalahan emosi, sosial, ataupun ekonomi.12 Menurut Walgito, masalah penghasilan adalah masalah pemicu konflik yang paling besar yang umumnya terjadi pada pasangan suami istri dalam kehidupan rumah tangga. Penghasilan suami lebih besar dari istri adalah hal biasa. Bila yang terjadi kebalikannya, bisa timbul masalah. Suami merasa minder karena karena tidak dihargai penghasilannya, sementara istri merasa di atas sehingga jadi sombong dan tidak menghormati suami.13 Seperti halnya yang sekarang sering diberitakan ditelevisi banyak sekali konflik yang terjadi pada pasangan selebriti yang menikah dan berujung pada perceraian. Selain masalah penghasilan, hal lain yang dapat memicu konflik dalam rumah tangga dan dapat berujung pada perceraian adalah pernikahan di usia dini. Pernikahan dini juga ditengarai banyak mengundang masalah yang tidak diharapkan dikarenakan dari segi psikologis pasangan menikah tersebut belum matang khususnya bagi perempuan. Pernikahan dini juga menjadi problema psikis dan sosial yang penting bagi laki-laki dan perempuan karena masing-masing harus berusaha untuk melakukan penyesuaian diri dengan pasangannya dan kehidupan pernikahannya. 14 Menurut Basri dalam bukunya yang berjudul Keluarga Sakinah mengatakan secara fisik biologis yang normal seorang remaja telah mampu mendapatkan keturunan, tetapi dari segi psikologis remaja masih labil dan 12 Bimo Walgito. (2002). Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta: CV. Andi Offset. h:7 13 Ibid. h:30 14 Dr.Kartini Kartono. (2006). Psikologi Wanita. Bandung: Mandar Maju. h:217 7 kurang mampu mengendalikan bahtera rumah tangga di samudera kehidupan. Berapa banyak keluarga dan pernikahan terpaksa mengalami nasib yang kurang beruntung dan bahkan tidak berlangsung lama karena usia terlalu muda, baik salah satu atau kedua pasangan. 15 Pernikahan yang terlalu muda juga bisa menyebabkan neuritik depresi karena mengalami proses kekecewaan yang berlarut-larut dan karena ada perasaan-perasaan tertekan yang berlebihan. Kematangan sosial-ekonomi dalam pernikahan sangat diperlukan karena merupakan penyangga dalam memutarkan roda dalam berumah tangga sebagai akibat pernikahan. Pada umumnya umur yang masih muda belum mempunyai pegangan dalam hal sosial-ekonomi, sedangkan individu tersebut telah dituntut untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa pakar pernikahan menghasilkan data empirik yang membuktikan adanya hubungan yang erat antara hancurnya pernikahan dengan hancurnya sistem keluarga. Banyak pula penelitian yang memberikan data empirik mengenai korelasi yang positif antara kondisi perselisihan pada pernikahan (marital discord) serta tekanan pada pernikahan (marital distress), yang merupakan suatu kondisi dan iklim pernikahan beberapa waktu sampai jatuhnya keputusan bercerai17 . Suka duka dalam kehidupan pernikahan merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari. Berkaitan dengan hal tersebut, Hammarskjold mengungkapkan bahwa setiap pernikahan tidak akan terhindar dari konflik. 15 Hasan Basri. (2004). Keluarga Sakinah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. h:6 16 Bimo Walgito. Op.Cit. h:30 17 Sawitri S. Sadarjoen. Op.Cit. h:3 8 Dua orang yang tinggal dalam satu atap tidak mungkin hidup tanpa adanya konflik, kecuali apabila salah satu pasangan atau bahkan kedua pasangan memutuskan untuk mengalah daripada berkonfrontasi. Walaupun salah satu pasangan memutuskan untuk mengalah, bukan berarti konflik tidak terjadi, karena sekalipun ketidak sesuaian tidak diungkap secara konfrontatif, konflik akan tetap muncul dalam hati yang paling dalam dan mendasari iklim relasi yang selanjutnya tercipta dengan pasangannya.18 Sebelum memutuskan untuk menikah, para calon pengantin pada umumnya akan menjalani masa transisi menuju pernikahan. Faktor yang terpenting dari masa transisi ini adalah kesiapan menikah. Berdasarkan hasil penelitian Booths dan Edwards dalam Wisnuwardhani dan Sri mengungkapkan bahwa terdapat beberapa hal yang secara signifikan berhubungan dengan kesiapan menikah, yaitu usia saat menikah, tingkat kedewasaan pasangan, waktu pernikahan, motivasi untuk menikah, kesiapan untuk sexual exclusiveness, dan tingkat pendidikan serta aspirasi pekerjaan dan derajat pemenuhannya.19 Usia dan tingkat kedewasaan kematangan merupakan indikator yang penting dalam mengevaluasi kesiapan untuk menikah. Boots dan Edwards dalam Wisnuwardhani dan Sri menemukan bahwa tingkat ketidakstabilan pernikahan pada pria dan wanita yang menikah saat mereka berada pada usia remaja ternyata lebih tinggi. Remaja biasanya memiliki ketidakmatangan
 emosi dan tidak mampu mengatasi permasalahan atau stress pada masa awal pernikahan.20 Persiapan pernikahan butuh pemikiran dan pemantapan dari tiap-tiap bagian yang diinginkan. Mempersiapkan pesta pernikahan, baju pengantin, tata rias, dan mas kawin yang akan digunakan. Persiapan-persiapan yang telihat secara fisik seperti hal tersebut bisa diserahkan atau diwakilkan kepada pihak yang sudah profesional, yang biasa disebut dengan wedding organizer, meskipun demikian tetap saja ada persiapan yang tidak bisa diwakilkan, seperti persiapan mental setiap pasangan, persiapan keilmuan, fisik, dan juga finansial. Keempat persiapan itu sangatlah penting dimiliki oleh tiap pasangan. Setiap pasangan haruslah memiliki mental yang kuat untuk menghadapi suatu pernikahan, menerima segala kekurangan dan kelebihan dari masing masing pasangan. Menurut Wisnuwardhani persiapan-persiapan pernikahan yang harus dimiliki oleh pasangan yang hendak menikah adalah: Persiapan mental yakni pasangan harus memiliki mental yang kuat untuk menghadapi suatu pernikahan, menerima segala kekurangan dan kelebihan dari masing-masing pasangan. Persiapan keilmuan yakni untuk memperlajari bagaimana hidup dengan pasangannya nanti. Persiapan fisik yakni untuk saling menjaga kesehatan agar nantinya memperoleh keturunan yang sehat. Dan persiapan terakhir adalah persiapan finansial, bagi para calon pengantin tidak mungkin mengandalkan orang lain untuk menutupi biaya pernikahan maupun kehidupan rumah tangga, karena jika persiapan finansial ini tidak 20 Ibid. h:93 10 dipikirkan matang maka akan menimbulkan banyak permasalahan di masa mendatang.21 Kematangan emosi merupakan aspek yang juga sangat penting untuk menjaga kelangsungan pernikahan. Keberhasilan rumah tangga banyak ditentukan oleh kematangan emosi, baik suami maupun istri. Dengan dilangsungkannya pernikahan maka status sosial pasangan akan diakui sebagai pasangan suami istri dan sah secara hukum. Batas usia dalam melangsungkan pernikahan sangatlah penting. Hal ini karena pernikahan menghendaki kematangan psikologis. Usia pernikahan yang terlalu muda dapat meningkatkan kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga.22 Atwater dan Duffy menyatakan bahwa kebahagiaan pernikahan tergantung pada apa yang terjadi saat pasangan memasuki kehidupan pernikahan yaitu seberapa baik mereka mengalami kesesuaian atau kecocokan. Kebahagiaan adalah keadaan dimana seseorang lebih banyak mengenang peristiwa-peristiwa yang menyenagkan daripada yang sebenarnya terjadi dan mereka lebih banyak melupakan peristiwa buruk.23 Hal yang paling penting dalam meraih kebahagiaan yaitu fleksibilitas dan keinginan untuk berubah dari setiap pasangan atau biasanya disebut dengan istilah dengan penyesuaian pernikahan (marital adjustment). 24 Penyesuaian pernikahan adalah 21 Ibid. h:94 22 Ibid. h:93 23 Martin Seligman. (2005). Authentic Happines. Menciptakan Kebahagiaan dengan Psikologi Positif. Bandung: Mizan Media Utama. h:48. 24 Coleman, M., Ganong, L., & Fine, M. (2000). Reinvestigating remarriage: Another decade of progress. Journal of Marriage and the Family, 62(4), 1288-1307 11 keterampilan sosial yang diperlukan bagi pasangan yang meraih kebahagiaan atau kepuasan pernikahan. 25 Hurlock menyatakan bahwa pada dasarnya keberhasilan sebuah pernikahan adalah keberhasilan suami-istri dalam mewujudkan penyesuaian pernikahan.26 Kebahagiaan pernikahan sangatlah erat kaitannya dengan persiapan dalam melakukan pernikahan. Pernikahan yang dilakukan tanpa persiapan emosi, fisik, sosial, maupun material yang memadahi dapat berdampak pada perjalanan rumah tangga yang dijalani dan nantinya juga berpengaruh pada tingkat kebahagiaan yang diperoleh pasangan pernikahan tersebut.
Pada komunitas Young Mommy Tuban, peneliti menemukan bawasanya terdapat beberapa anggota komunitas yang kurang dapat menyelesaikan konflik ataupun memanage konflik pernikahan dengan baik, sehingga beberapa dari mereka memutuskan untuk bercerai. Mereka yang memutuskan untuk bercerai dengan pasangannya diketahui bahwasanya tidak memiliki persiapan yang cukup ketika hendak melakukan pernikahan dengan pasangannya. Ada pula diantara mereka yang terpaksa harus menikah dikarenakan perjodohan yang dilakukan oleh kedua orang tuannya serta ada yang terpaksa harus segera menikah dikarenakan mengalami Married by Accident atau hamil sebelum menikah.27 25 Miranda, S. (1995). Kelekatan (attachment) dengan penyesuaian perkawinan: studi penjajakan mengenai pengaruh kelekatan terhadap penyesuaian perkawinan suami-istri pada masa perkawinan dua tahun pertama. Skripsi sarjana. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. 26 Elizabeth, B.Hurlock. (1997). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (edisi kelima) (Terjemahan). Jakarta: Penerbit Erlangga. h:286 27 Wawancara subjek 1 12 Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian “Perbedaan Kebahagiaan Pasangan Pernikahan dengan Persiapan dan Tanpa Persiapan Pada Komunitas Young Mommy Tuban”.
 Persiapan yang dimaksud adalah kematangan emosi, kesiapan usia, kematangan sosial, kesiapan model peran, kesiapan finansial yang cukup serta kesiapan waktu dan jika tidak memenuhi katagori persiapan pernikahan yang telah disebutkan atau karakteristik tersebut disimpulkan sebagai kondisi tanpa persiapan.
B. Rumusan Masalah
 1. Bagaimana tingkat kebahagiaan pada pasangan menikah dengan persiapan? 2. Bagaimana tingkat kebahagiaan pada pasangan menikah tanpa persiapan? 3. Adakah perbedaan tingkat kebahagiaan pada pasangan pernikahan dengan persiapan dan tanpa persiapan?
C. Tujuan Penelitian
 Penelitian ini bertujuan untuk memberi jawaban dari hal yang menjadi fokus permasalahan sejak awal sebagaimana dipertanyakan dalam rumusan masalah. sehingga tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui tingkat kebahagiaan pada pasangan pernikahan dengan persiapan.  2. Mengetahui tingkat kebahagiaan pada pasangan pernikahan tanpa persiapan. 3. Membuktikan perbedaan tingkat kebahagiaan pada pasangan pernikahan dengan persiapan dan tanpa persiapan.
D. Manfaat Penelitian
 Penelitian ini diharapkan memberi manfaat untuk kepentingan teoritis dan praktis. Secara teoritis diharapkan penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan, dalam bidang Psikologi Pernikahan, Sosial maupun Perkembangan serta dapat bermanfaat untuk pengembangan kajian ilmu Psikologi karena menyangkut permasalahan dalam masa dewasa saat memasuki fase kehidupan baru (pernikahan). Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
a. Penelitian ini dapat dipakai sebagai informasi tambahan bagi penelitianpenelitian sejenis dalam bidang Psikologi Sosial maupun perkembangan.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi sebagai bahan kebijakan dalam hal pembinaan kebahagiaan pernikahan, serta dapat digunakan sebagai antisipasi untuk menekan meningkatnya kasus pertengkaran ataupun perceraian dalam pernikahan. c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran yang jelas tentang perbedaan tingkat kebahagiaan pada pasangan yang menikah dengan persiapan dan tanpa persiapan sehingga dapat bermanfaat bagi orang-orang yang hendak melakukan pernikahan

Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Perbedaan kebahagiaan pasangan pernikahan dengan persiapan dan tanpa persiapan pada komunitas Young Mommy Tuban" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD

Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment