Abstract
INDONESIA:
Kejahatan seksual merupakan tindakan yang sadis bagi korban dan bagi masyarakat umumnya. Korban kejahatan ini bisa terjadi pada laki-laki ataupun perempuan. Pada sisi pelaku kejahatan ini bisa dilakukan oleh orang dewasa maupun anak-anak, Pada pelaku kejahatan seksual anak- anak mempunyai kekhasan tersendiri, mulai dari factor pencetus sampai pada kemampuan berfikir anak yang masih labil. Sehingga pelaku kejahatan anak membutuhkan penanganan yang berbeda dengan pelaku kejahatan seksual dewasa.
Perdebatan yang muncul adalah apakah anak-anak yang berhadapan dengan hukum terkait sebagai pelaku kejahatan seksual, terdorong oleh lingkungan sosial, keluarga atau karena fase perkembangan seksual anak-anak ini. Hal inilah yang menarik untuk digali, dicaritahu dan diamati penyebab terjadinya anak melakukan kejahatan seksual dari profil anak tersebut. Sehingga rumusan masalahnya yakni bagaimana profil anak pelaku kejahatan seksual?
Adapun tujuan penelitian yakni mengetahui profil anak pelaku kejahatan seksual. Penelitian ini merupakan penelitian psikologi sosial yang pengambilan datanya menggunakan metode kualitatif dengan strategi fenomenologis. Lokasi penelitian dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas II A Blitar dengan pengambilan sampel sebanyak 5 anak, dimana anak tersebut meruapakan narapidana kasus asusila atau pelaku kejahatan seksual.
Hasil dari pada penelitian ini adalah bahwa anak melakukan kejahatan seksual dikarenakan factor dorongan atau dukungan teman sebaya dan dorongan seksual remaja yang meningkat, akan tetapi tidak hanya factor tersebut saja yang dominan menjadi penyebabnya. Berawal dari lingkungan keluarga yang kacau membuat anak merasakan ketidaknyamanan berhubungan dengan orang tua, sehingga anak mencari kesenangan dan kenyamanannya di lingkungan teman sebaya yang ternyata memberikan tekanan, dukungan, dan pengaruh yang mengarah pada pembentukan perilaku menyimpang salah satunya tingkah laku seksual beresiko seperti kejahatan seksual. Selain itu saat ini anak menunjukkan emosi positif dan negative setelah berada dalam tahanan dan muncul orientasi masa depan yang berupa harapan-harapan setelah keluar.
ENGLISH:
Sexual abuse is a sadistic act to the victim and society. The victim can be from both man and woman. On the other side, the abuser can be done by adults or children. The sexual abusers have their own specialties, starting from triggering factor to the labile thinking of the child. So the solutions for adult and child abuser are different.
The problem rose is whether children committed to a crime are triggered by the society, family, or by their sexual development phase. These problems are interesting to be discussed and monitored for their cause by the children profiles.
The purpose of the study is to find out the profiles of children committed to sexual abuse. This study is a social-physiological research using qualitative method with phenomenology’s strategy. The location of the research is in Child’s prison Class II A in Blitar with 5 children as the subjects whom are the prisoners of immoral and sexual crimes.
The result of the study shows that the children committed to a crime are caused and motivated by their friend. But that is not the only cause. It is started from their broken families which cause them to feel inconvenient with their parents, so the children choose to find their own happiness with their friends that unfortunately bring them to commit crimes including sexual abuse. In addition, this time the child shows positive and negative emotions after being in custody and appeared in the form of future-oriented expectations after coming out of custody.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Di Indonesia menurut catatan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan,
dalam kurun waktu 13 tahun terakhir, kasus kekerasan terhadap perempuan
berjumlah 400.939. Tercatat ada 93.960 kasus kekerasan seksual dan 50 persen
dari jumlah tersebut adalah pemerkosaan, Berdasarkan bentuk-bentuk
kekerasannya, Komnas Perempuan memisahkan beberapa bentuk kekerasan seksual,
menjadi 14 bentuk, dari 93.960 kasus kekerasan seksual, 4.845 kasus adalah
perkosaan, 1.359 perdagangan perempuan, 1.049 pelecehan seksual, 672 kasus
penyiksaan seksual, 342 eksploitasi seksual (Indonesia.ucanews.com, 27 Februari
2014) Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah kejahatan seksual setiap tahunnya
semakin meningkat dan selalu saja korban paling banyak adalah perempuan dan
anak-anak. Semakin banyaknya korban menggambarkan bahwa kejahatan seksual ini
tidak ada hentinya dan semakin sulit dibendung, hal ini menjadi tanggungjawab
pihak-pihak terkait untuk memperkecil maraknya kejahatan seksual karena dampak
yang dirasakan amat besar bagi korban. Dampak psikologis yang dialami korban
kejahatan seksual tidak sederhana, mereka harus menghadapi tekanan dari
lingkungan yang terkadang banyak menyalahkan, rasa malu korban, gangguan stress
pascatrauma (PTSD), memiliki masalah gangguan tidur, depresi yang tinggi,
perasaan kesepian, korban berpindah di lingkungan baru, kecemasan, dan
keinginan bunuh diri. Begitu kompleksnya dampak atau efek yang ditimbulkan para
pelaku kejahatan seksual pada korban, membuktikan betapa seriusnya perilaku tersebut,
inilah yang menjadi menarik karena kasus kejahatan seksual tidak akan terjadi
jika tidak ada pelaku. 2 Umumnya para pelaku kejahatan seksual dilakukan oleh
orang dewasa, yang secara umum penyebab bisa diakibatkan oleh kondisi-kondisi
yang menekan seperti kondisi sosialekonomi yang lemah, individu yang memiliki
kepribadian patologis, dan adapun menurut Capelli penjahat melakukan kejahatan
dilakukan karena didorong oleh faktor psikopatologis, cacat badan-rohani dan
kemunduran jiwa raga, dan karena faktor-faktor sosial (Kartono, 2011, hal 150).
Akan tetapi kejahatan seksual tidak hanya mampu dilakukan oleh
orang dewasa saja. Data menunjukkan bahwa banyak kejahatan seksual yang
dilakukan anak-anak. Survei yang dilakukan Yayasan Kita dan Buah Hati, yang dipantau
langsung oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menghasilkan sebuah
data yang menyebutkan bahwa 95 persen anak berusia sekolah dasar, sudah menjadi
pelaku kekerasan seksual (Health.liputan6.com, 27 Februari 2014). "Ini
naiknya cukup signifikan dan mengagetkan tentunya. Di tahun 2012, ditemukan
fakta bahwa 76 persen anak kelas 4 sampai 6 SD sudah menjadi pelakunya,"
kata Perwakilan Yayasan Kita dan Buah Hati, Perwita Sari dalam acara 'Pembacaan
Hasil Laporan dari Sidang HAM III', di Gedung Perpustakaan Nasional Salemba,
Jakarta (Health.liputan6.com, 27 Februari 2014). Data diatas diperkuat dengan
kondisi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Blitar, ditemukan ada anak-anak
yang melakukan tindakan keji tersebut. Terdapat pelanggaran hukum pada pasal
281-297 yakni terkait kejahatan kesusilaan yang dalam data LAPAS ada sejumlah
15 anak. Fakta ini sangat menghawatirkan, bagaimana bisa diusia yang masih
belia anak mampu melakukan tindakan kejahatan seksual. Apa yang ada dalam benak
anak-anak hingga melakukan tindakan keji tersebut. Dilihat dari kapasitas
meraka sangat berbeda jauh dengan milik orang dewasa, dalam segi kematangan
seksual, kognitif, dan emosi merekapun masih belum stabil dibandingkan dengan
orang dewasa yang mereka sudah dikatakan matang seksual, kognitif, dan
emosinya. 3 Pembahasan sebelumnya sangat menarik untuk dikaji lebih dalam lagi,
karena di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Blitar ditemukan bahwa anak pelaku
kejahatan seksual ini merasa menjalani hukuman bukan menjalani pertanggungjawaban
peradilan yang sesuai dengan pasal 45-47. Sehingga dengan perlakuan tersebut
belum mampu memberikan efek jera pada anak, karena beberapa anak pelaku
kejahatan seksual tidak menampakkan rasa menyesal bahkan ada kemungkinan besar
setelah keluar dari LAPAS mereka akan kembali ke lingkungan yang lama dan akan
melakukan tindakan yang sama. Maka dari itu, fakta ini sangat menarik dan perlu
diteliti dengan melihat bagaimana profil anak pelaku kejahatan seksual. Melihat
profil anak berarti menggali pengalaman anak dimasa lalu, kondisi saat ini, dan
orientasi masa depan anak. Mengapa harus dengan mengetahui profil anak, dengan
mengetahui hal tersebut mampu mencari tahu faktor utama dan pencetus anak
melakukan kejahatan seksual, mampu melihat kondisi anak saat di LAPAS, dan
orientasi masa depan anak setelah keluar dari LAPAS. Sehingga nantinya tiga hal
tersebut berguna dalam pertimbangan pemberian pola-pola penanganan pada anak
dan yang bersangkutan dengan anak. Adapun yang mempengaruhi perilaku kejahatan seksual
oleh anak disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: faktor dalam diri yang
meliputi rasa tidak aman, keterampilan sosial yang buruk, konsentrasi yang
buruk dan gelisah, dan implusif (Dennison & Leclerc, 2011: hal 1091).
Kesemuanya didukung dengan kondisi anak yang masih banyak mengalami
kesulitan dalam mengontrol diri, kontrol diri dibutuhkan utamanya saat memasuki
masa remaja, dimana masa tersebut akan terjadi lebih banyak konflik dalam diri
mereka. Terjadinya konflik batin sendiri, membuat anak kemudian menggunakan
mekanisme pelarian diri serta pembelaan diri yang irasional (Kartono, 2011,
hal: 9). Konflik dalam diri anak remaja akan lebih complicated lagi terkait
dengan masalah seksualitas, kebutuhan 4 fisiologis manusia ini adalah
reproduksi instinctive akan alam bawah sadar manusia (Soekatno, 2008, hal: 12),
kebutuhan seksualitas merupakan kebutuhan dasar yang wajib terpenuhi dan
tersalurkan dengan benar. Kebutuhan ini akan selalu memberikan impuls-impuls
untuk terpenuhi, dan dimasa remaja dorongan seksual akan meningkat dengan
disertai proses kematangan fisik yang ditunjukkan dengan semakin bertumbuhnya
bagian-bagian yang menonjol pada remaja. Ditahap perkembangan masa remaja, anak
sudah mulai mengetahui tentang seksual dan banyak diantara mereka yang
melakukan tingkah laku seksual. Data yang di rilis oleh KOMNAS Anak dari survei
yang dilkukan terhadap 4500 remaja di 12 kota besar di Indonesia tahun 2007
ternyata 93, 7% remaja pernah ciuman, peting, dan oral seks (Risman, 2010, hal:
2). Fakta tersebut tidak didukung dengan pemberian pendidikan seksual di
lingkup sekolah ataupun keluarga yang cukup, dikarenakan pendidikan yang
membahas masalah tersebut masih dianggap tabu dan menjadi kontroversi. Padahal
pemahaman akan seksualitas dimasa anak-anak hingga remaja minim sekali, banyak
remaja yang tidak siap untuk mengahadapi pengalaman seksual, utamanya dimasa
remaja awal (Santrock, 2003, hal: 403). Kebutuhan pendidikan yang tidak
terpenuhi ini berdampak pada banyaknya tingkah laku seksual remaja yang dilakukan
sejak dini tanpa mengetahui resiko seperti penyakit menular dan kehamilan,
bahkan dampak yang lebih memperihatinkan apabila tingkah laku seksual remaja
ini dipaksakan, dan memunculkan para pelaku-pelaku kekerasan seksual oleh anak.
Maka dari itu faktor seksualitas membutuhkan pemahaman lebih karena merupakan
faktor potensi terjadinya kejahatan seksual. Faktor kedua yakni faktor berbasis
keluarga juga memicu kejahatan seksual oleh anak yang meliputi: orang tua yang
menggunakan penyalahgunaan zat, kriminalitas orang tua, ibu yang masih remaja
atau muda, adanya perselisihan perkawinan, kekerasan dalam rumah 5 tangga,
penelanaran, dan kekerasan, orang tua yang tidak pantas, dan kurangnya
pengawasan orang tua atau keterlibatan orang tua (Dennison & Leclerc, 2011,
hal: 1091). Faktor basis keluarga ini menjelaskan bahwa ada hubungan pola asuh
yang tidak mendukung perkembangan anak, dimana seharusnya orang tua memberikan
perhatian, dukungan, mendidik, dan memberi contoh yang baik, namun para orang
tua memperlakukan anak sebaliknya. Sehingga sangat mungkin sekali anak banyak
melakukan penyimpangan perilaku. Melihat kondisi keluarga yang tidak mendukung
perkembangan sosio-emosional anak, jelas sekali jika keluarga yang demikian
melahirkan produk-produk anak pelaku kejahatan seksual. Orang tua yang acuh
akan kondisi anak dan kurangnya attachment berpengaruh pada kondisi psikologis
anak, hal ini didukung dengan penelitian Diana Baumrind yang menganalisis
pola-pola pengasuhan dan kecakapan sosial dalam masa remaja, menyatakan
faktor-faktor ketanggapan seperti perhatian dan dukungan orang tua berkaitan
dengan kecakapan sosial remaja, dan ketika orang tua sendiri memiliki masalah
perilaku berpengaruh pada remaja yang menunjukkan sering kali mempunyai masalah
dan menunjukkan penurunan kecakapan sosial (Santrock, 2003, hal: 187). Faktor
keluarga bukan satu-satunya faktor eksternal yang memicu kejahatan seksual
anak, kondisi sosial dilingkup pergaulan teman sebaya, sekolah, dan masyarakat
yang tidak sehat. Adapun Faktor-faktor sekolah termasuk kegagalan akademis,
putus sekolah, membolos, lampiran miskin untuk sekolah, dan manajemen perilaku
yang tidak memadai dan faktor lingkungan dan masyarakat, yakni seperti kerugian
sosial ekonomi, kekerasan dan kejahatan lingkungan, dan norma budaya terkait
agresi dan kekerasan (Dennison & Leclerc, 2011). Penyajian informasi dan
tayangan tentang kekerasan dan kejahatan lingkungan contohnya penyuguhan akses
instingtif seksualitas berupa tontonan pornografi, inilah salah satu pemicu kekerasan
seksual yang dilakukan anak. Dari sisi usia tambah Fayumi, pelaku kekerasan
seksual bukan saja orang dewasa tetapi juga anak di bawah umur. Derasnya arus
pornografi 6 tambahnya menyebabkan semakin muda usia anak pelaku kekerasan
seksual (www.voaindonesia.com, 27 Februari 2014). Kemampuan anak yang masih
dalam proses pematangan kepribadian dan kapasitas intelektual inilah membuat
anak menelan informasi secara tidak tepat, selain itu hal ini didukung dengan
tidak cukupnya pengetahuan mengenai seks dan informasi mengenai seks jumlahnya
cukup banyak namun banyak yang tidak memberikan informasi yang benar (Santrock,
2003, hal: 430). Anak memperoleh kebanyakan informasi mengenai seks dari
teman-teman sebaya, diikuti oleh bahan bacaan atau literatur, ibu, sekolah, dan
pengalaman (Santrock, 2003, hal: 431). Banyak memperoleh pengetahuan seks dari
teman sebaya inilah yang menjadikan informasi kurang bisa dicerna dengan baik
oleh anak, sehingga banyak memunculkan penyimpangan seksual bisa berupa
pergaulan seks bebas dan tingkah laku seks yang dipaksakan.
Contoh kasus pada awal November 2013 di Situbondo, seorang anak
kelas 6 Sekolah Dasar (SD) memperkosa tetangganya yang masih berusia balita
akibat sering menonton video porno (www.voaindonesia.com, 27 Februari 2014). Pada
tahun 1986, Komisi Umum Pengacara Amerika yang menangani pornografi
menyimpulkan bahwa pornografi telah melahirkan adanya hubungan kausal dengan
tindakan-tindakan anti-sosial yg berupa kekerasan seksual (Puspasari, 2013,
hal: 23). Memperihatinkan sekali dampak dari pornografi yang gencar
mempengaruhi kognisi, afeksi dan moral anak-anak remaja ini, mereka umumnya
melakukan tindakan tidak bermoral dengan kurangnya kontrol diri atau
menyalahgunakan kontrol diri. Adapun dampak penggunaan materi pornografi yang
berketerusan atau kecanduan, menurut DR Hilton akan merusak lima bagian otak:
Orbitofrontal Midfrontal, Insula Hipppocampus Temporal, Nucleus Accumbens
Patumen, Cingalute dan Cerebellum (Risman, 2011, hal: 3). Dari lima bagian otak
tersebut bagian yang paling rusak adalah Pre Frontal Corteks yang membuat anak
tidak bisa membuat perencanaan, mengendalikan hawa nafsu dan emosi, mengambil
keputusan dan 7 berbagai peran eksekutif otak sebagai pengendali impuls-impuls
(Risman, 2011, hal: 4). Proses kognitif yang demikian ini menghasilkan pola
pikir yang negatif dan memunculkan perilaku atau tindakan menyimpang.
Faktor-faktor tersebut jelas sekali mempengaruhi pola tingkahlaku yang
dimunculkan anak sebagai menakisme pertahanan mereka. Menjadi sangat menarik permasalahan
tersebut untuk lebih diteliti terkait profil pelaku kejahatan seksual oleh
anak-anak karena dengan memahami profil anak-anak pelaku kejahatan seksual,
maka akan lebih mudah menerapkan atau membuat rehabilitasinya. Rehabilitasi
sangat dibutuhkan dan penting bagi anak-anak pelaku kejahatan seksual karena
anak-anak pelaku seks cenderung akan mengulangi perbuatan yang sama dan
rehabilitasi yang diberikan segera akan mudah diterima karena kondisi mereka
yang masih anak-anak.
Mengetahui dan menggali profil anak pelaku kejahatan seksual akan
mempermudah dalam memberikan rehabilitasi selanjutnya, karena latar belakang
anak sepatutnya dipahami dan dimengerti, bagaimana kondisi keluarga anak,
hubungan anak dengan orang tua, kondisi psikologis orang tua itu sendiri,
kondisi sosial anak dari hubungannya dengan teman sebaya dan yang lebih tua
dari mereka, kondisi lingkungan sekitar, seperti budaya masyarakat, sekolah,
dan tempat bermain anak. Pemilihan rehabilitasi disesuaikan dengan
faktor-faktor dominan yang mempengaruhi tindakan kejahatan seksual. Kejahatan
seksual oleh anak seharusnya segera ditangani saat teridentifikasinya kasus
tersebut, dikhawatirkan jika terjadi keterlambatan atau salah dalam proses
penanganan akan berdampak pada masa dewasanya kelak, seperti akan terus
mengulangi kejahatan yang sama. Sudah menjadi hal umum bahwa tindakan kejahatan
seksual ini harus diganjar oleh mereka dengan mendekam di tahanan. Anak-anak
remaja ini banyak terjerat hukum pidana kasus kejahatan seksual dan menjalani waktu
berharga mereka didalam Lembaga Pemasyarakatan atau menjadi tahanan. Tercatat
Jumlah pelaku kejahatan seksual oleh anak 8 berdasarkan laporan yang masuk ke
Direktorat III Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri dengan kasus perbuatan
cabul menurut KUHP sebanyak 128, percobaan perkosaan 5, dan perkosaan 15
(Fatihi, 2013, hal: 4). Di Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar sendiri jumlah
jenis pidana anak kasus kesusilaan sejumlah 4 orang dan perlindung anak
sejumlah 151 orang (Fatihi, 2013, hal: 4).
Adapaun Devisi anak yang tercantum di dalam Konvensi Hak Anak dan
Undang-undang Perlindungan Anak bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai
usia delapan belas (18) tahun (UNICEF, 2006-2007). Tidak sewajarnya anak-anak
mendapatkan hukuman yang sama dengan orang dewasa, karena anak-anak tidak
memiliki pengalaman hidup, tidak memiliki kapasitas mental dan intelektual yang
sama seperti orang dewasa. Oleh karena itu, dianggap tidak aadil memperlakukan
anak-anak sama halnya seperti orang dewasa (Nuqul, 2011). Maka dari itu
penelitian ini dirasa sangat penting dan menarik, alasannya profil anak
kejahatan seksual tidak hanya sebatas sampai menggali faktor-faktor pencetusnya
saja, bahasan terkait motif yang dimiliki anak pelaku kejahatan seksual juga
akan memberikan manfaat berupa pemberian rehabilitasi dan pendidikan yang tepat
sehingga hak-hak anak selama di tahanan terpenuhi.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka
rumusan masalahnya adalah: Bagaimana profil anak pelaku kejahatan seksual?
C.
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah
yang telah diuraikan diatas maka tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui
profil anak pelaku kejahatan seksual.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis Dengan
adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru dan eksplorasi
pada bidang keilmuan psikologi umumnya dalam kajian psikologi sosial dan
psikologi hukum.
2.
Manfaat Praktis Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat membantu upaya
pemberian pola-pola penanganan yang diberikan pada anak pelaku kejahatan
seksual, keluarga anak pelaku kejahatan seksual, dan masyarakat secara tepat
untuk membantu anak tidak mengulangi tindakan yang sama.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Profil anak pelaku kejahatan seksual di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Anak Blitar" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah iniDOWNLOAD
No comments:
Post a Comment