Abstract
INDONESIA:
Kecerdasan emosi merupakan salah satu hal yang menentukan kesuksesan manusia yang selalu digunakan sehari-hari terutama dalam mengatasi masalah. Kecerdasan emosi terus berkembang bersama dengan perkembangan manusia bergantung pada pembelajaran masing-masing individu. Penyelesaian masalah akan berjalan lancar jika dalam keadaan tenang baik dengan pikiran yang jernih maupun perasaan yang tenang. Ada faktor-faktor yang dapat menentukan tingkat kecerdasan emosi, diantaranya: kesadaran diri, kontrol diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besar pengaruh masing-masing faktor kecerdasan emosi yang diantaranya kesadaran diri, kontrol diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Hipotesis awal yang diajukan terdapat faktor kesadaran diri, kontrol diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial sebagai faktor – faktor kecerdasan emosi mahasiswa fakultas psikologi uin maulana malik ibrahim malang.
Rancangan penelitian ini menggunakan pendekatan metode kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa fakultas psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan simple random sampling dengan jumlah sampel 145 mahasiswa, dan teknik analisa data dengan CFA (Corfirmatory Factor Analysis) dengan menggunakan Amos 18.0.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Faktor kesadaran diri mempunyai muatan faktor 0.7941 (P-value 0,000 ≤ 0,05 signifikan), faktor kontrol diri mempunyai muatan faktor 0.7801 (P-value 0,000 ≤ 0,05 signifikan), faktor motivasi diri mempunyai muatan faktor 0.5056 (P-value 0,000 ≤ 0,05 signifikan), faktor empati mempunyai muatan faktor 0.7941 (P-value 0,000 ≤ 0,05 signifikan), Faktor keterampilan sosial mempunyai faktor 0.7191 (P-value 0,000 ≤ 0,05 signifikan).
ENGLISH:
Emotional intelligence is one of many ways to the success of people used in their daily life, especially in solving their problem. It was evolved continually within human development and depended on each individual's process of learning. The problem solving will run smoothly, if the process occur in the good-tempered with the open-mindedness and the calm feeling. There are many factors that can determine the level of emotional intelligence, such as: self-awareness, self- control, self-motivation, empathy and social skills.
This research intent to determine how large the contribution of each - including self-awareness, self-control, self-motivation, empathy and social skills- in the students personality of the Faculty of Psychology of the Maulana Malik Ibrahim Malang State Islamic University. The former hypothesis proposed that there are the many factors like self-awareness, self-control, self-motivation, empathy and social skills look as the emotional intelligence factors for the students of Faculty of Psychology in Maulana Malik Ibrahim State Islamic University Malang.
The research design used quantitative approach. The population in this research were the students of faculty of psychology of Maulana Malik Ibrahim State Islamic University Malang. Sampling technique used simple random sampling with a sample among 145 students, and data analysis techniques with CFA (Corfirmatory Factor Analysis) used the Amos 18.0.
The research results indicate that self-awareness factor has a factor loading 0.7941 (P-value 0.000 significant ≤ 0.05), self-control factor has a factor loading 0.7801 (P-value 0.000 significant ≤ 0.05), self-motivation factor has a load factor of 0.5056 (P-value 0.000 significant ≤ 0.05), empathy has a load factor of 0.7941 factor (P-value 0.000 significant ≤ 0.05), social skill factor has factor 0.7191 (P- value ≤ 0.05 0.000 significant).
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah Selama ini banyak orang menganggap
bahwa jika seseorang memiliki tingkat kecerdasan intelektual atau Intelligence
Quotient (IQ) yang tinggi, maka orang tersebut memiliki peluang untuk meraih
kesuksesan yang lebih besar dibanding orang lain. Hal terlihat dari usaha keras
orang tua untuk menyekolahkan anaknya pada usia dini bahkan tidak hanya pada
kegiatan pagi saja, melainkan juga mengikuti les pada sore dan malam hari. Pola
pikir dan cara pandang yang mengutamakan kemampuan otak dan daya nalar telah
melahirkan manusia terdidik dengan otak yang cerdas tetapi sikap, perilaku dan
pola hidup sangat kontras dengan kemampuan intelektualnya. Hal ini terbukti
dari perkembangan manusia saat ini yang kurang dapatnya memahami perasaan diri
maupun perasaan orang lain,. (Zain, Kompasiana. 2012) Seperti yang diungkapkan
oleh Taufik Pasiak (2005: 2) bahwa pintar saja tidak cukup untuk mengarungi
kehidupan. Keadaan ini berarti memiliki kepribadian yang terbelah (split
personality). Dimana tidak terjadi integrasi antara otak dan hati. Kondisi
tersebut pada gilirannya menimbulkan krisis multidimensi yang sangat
memprihatinkan. Daniel Goleman (1999: 512), menjelaskan bahwa ada
ukuran/patokan lain yang menentukan tingkat kesuksesan seseorang. Dalam
bukunya, Emotional 2 Intelligence, membuktikan bahwa tingkat emosional manusia
lebih mampu memperlihatkan kesuksesan seseorang. Tingkat intelegensi seseorang
tidak dapat berubah bahkan bisa menurun bergantung pada perkembangan yang
semakin jarang diasah dan menurunnya sistem otak manusia, sebaliknya emosi
seseorang berkembang bersama dengan pertumbuhannya sejak lahir sampai meninggal
dunia yang dipengaruhi pengalaman hidupnya dari lingkungan, keluarga dan
contoh-contoh yang didapat seseorang sejak lahir dari orang tuanya. Menurut
Goleman (1999: 512) kecerdasan emosional didefinisikan dengan kemampuan
mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi
diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan
dalam hubungannya dengan orang lain. Goleman (Efendi, 2005: 171-172) juga
menyebutkan kecerdasan emosional dengan kemampuan untuk memotivasi diri sendiri
dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak
melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati, berempati dan berdoa.
Adapun faktor-faktor dari kecerdasan emosi menurut Goleman antara lain adalah
kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan
sosial. Kesadaran diri menurut Goleman adalah mengetahui apa yang kita rasakan
pada suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri
sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan
diri yang kuat (Goleman, 1999: 513). Kesadaran diri menurut Goleman merupakan
dasar dari kecerdasan emosi. Jika memiliki kesadaran diri 3 yang tinggi maka
akan berhubungan dengan faktor-faktor kecerdasan emosi lainnya. Kontrol diri
yakni menangani emosi sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka
terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu
sasaran, mampu pulih kembali dari tekanan emosi (Goleman, 1999: 513). Kontrol
diri berarti mampu menempatkan emosinya sesuai dengan kebutuhan tanpa menekan
emosi tertentu karena dianggap tidak layak. Hal ini karena setiap emosi
memiliki nilai yang akan tepat munculnya jika disesuaikan dengan situasi yang
tepat pula. Motivasi diri berarti mampu menggunakan hasrat kita yang paling
dalam untuk menggerakkan dan menuntun individu menuju sasaran, membantu individu
mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif dan untuk bertahan menghadapi
kegagalan dan frustasi (Goleman, 1999: 514). Motivasi diri sangat penting bagi
individu terutama untuk mencapai hal yang diinginkan. Empati atau mengenali
emosi orang lain berarti merasakan yang dirasakan oleh orang lain, mampu
memahami perspektif orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan
menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang (Goleman, 1999: 514). Empati
tentu dibutuhkan agar dapat saling memahami sesama manusia dan mampu menarik
pelajaran dari pengalaman orang lain. Keterampilan sosial berarti dapat
menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan
cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan
keterampilan- 4 keterampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah
dan menyelesaikan perselisihnya, dan untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim
(Goleman, 1999: 514). Keterampilan sosial sangat dibutuhkan dalam interaksi
sosial. Hal ini tentu tidak lepas dari peran orang lain dalam kehidupan setiap
individu. Hal ini berarti jika remaja yang mempunyai kecerdasan emosi yang
tinggi akan mampu mengenali emosinya, dengan mampu mengenali emosi akan mampu
mengendalikan emosi sehingga remaja dapat bersikap sebagaimana seharusnya dia
bersikap, seperti mengendalikan marah, mengatasi mood yang mudah berubah.
Remaja yang cerdas emosi juga mampu memotivasi diri dalam menjalani
kehidupannya, mengenali emosi orang disekitarnya dan mampu melakukan hubungan baik
dengan orang lain. Kemampuan remaja dalam mengenali emosi, mengontrol emosi,
memotivasi diri, mengenali orang lain dan mampu melakukan hubungan dengan orang
lain maka remaja dapat mengatasi masalahnya dengan baik. Sebaliknya pada remaja
yang mempunyai kecerdasan emosi yang rendah maka mereka tidak mampu mengenali
emosi orang lain, kurang mampu memotivasi diri dan mereka kurang mampu
melakukan hubungan sosial dengan orang lain. Emosi tidak selalu berarti hal-hal
yang bersifat negatif (tidak menyenangkan). Melainkan suatu keadaan yang
bergejolak pada diri individu yang berfungsi sebagai penyesuaian dari dalam
diri terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu
(Sobur, 2003: 400). Emosi dapat merupakan kecenderungan yang membuat frustasi,
tetapi juga bisa 5 menjadi modal untuk meraih kebahagiaan dan keberhasilan
dalam hidup. Semua itu berarti bergantung pada emosi mana yang dipilih untuk
menghadapi orang lain, kejadian-kejadian dan situasi disekitar. Emosi juga
merupakan bagian penting dari pengambilan keputusan dan ketika orang
mengabaikan emosinya, mereka mungkin akan mengambil keputusan yang bertentangan
dengan kepentingan mereka sendiri. Emosi dan kognisi juga disebutkan saling
berintegrasi dan bekerja sama (Taylor, Peplau, & Sears, 2009: 88). Orang
yang senang cenderung mengambil keputusan dengan cepat, mengerjakan tugas
sederhana lebih cepat, menghubunghubungkan banyak hal dengan cepat,
mengelompokkan berbagai macam hal ke dalam kategori yang sama. Sebaliknya,
perasaan yang tidak menyenangkan dapat memperlambat prosesan informasi, orang
menjadi cenderung lebih teliti dan berhati-hati, mengambilan keputusan lebih
lambat, dan bekerja lebih lamban. Hal ini lebih menjelaskan hubungan antara
kognisi dengan emosi. Emosi sangat penting untuk dapat dikendalikan, karena
tingkah laku sangat dipengaruhi oleh emosi seseorang. Jika seseorang memiliki
emosi yang menyenangkan maka akan lebih mudah baginya untuk menyelesaikan
masalah, sebaliknya jika emosi tidak menyenangkan maka akan sulit baginya untuk
dapat menyelesaikan masalah dengan tepat karena terganggu dengan perasaannya.
Hal ini tentu sangat mengganggu bagi seseorang yang tidak dapat mengendalikan
emosinya dengan tepat. Terutama bagi remaja yang baru saja dalam proses
pencarian jati diri dengan mencoba banyak hal yang dapat membuatnya merasa
nyaman. 6 Masa remaja adalah fase perkembangan setelah masa kanak-kanak hingga
sebelum masa dewasa. Batasan usia remaja yang umumnya digunakan para ahli
adalah antara 12-21 tahun. Rentang waktu usia remaja menurut Knoers dan
Haditono, yaitu: 1) masa pra-remaja/pra-pubertas (10-12 tahun), 2) masa remaja
awal/pubertas, (12-15 tahun), 3) masa remaja pertengahan (15-18 tahun), dan 4)
masa remaja akhir (18-21 tahun). Remaja awal hingga akhir inilah yang disebut
dengan masa adolesen. (Desmita, 2008: 190) Masa remaja disebut juga dengan
puber diasosiasikan dengan peningkatan emosi negatif yang meliputi rasa cemas,
rasa bersalah dan rasa sedih dibandingkan emosi positif seperti antusiasme,
rasa senang dan rasa cinta (Santrock, 2007: 18). Atau masa yang sulit secara
emosional karena tinggi rendahnya emosi yakni munculnya emosi negatif dan emosi
positif yang belum dapat diatur pada masa remaja awal. Remaja cenderung keadaan
emosinya masih labil karena erat hubungannya dengan keadaan hormon. Emosi
remaja yang belum stabil diakibatkan dengan perubahan hormonal remaja yang
sedang yang signifikan (Santrock, 2002: 19). Masa remaja juga dikenal dengan
ketegangan emosi tinggi, yang disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam keadaan
fisik dan kerja kelenjar-kelenjar dalam tubuh pada masa remaja. Kalau sedang
senang-senangnya mereka lupa diri, bahkan remaja mudah terpengaruh dalam
tindakan tidak bermoral, misalnya remaja yang sedang asyik berpacaran bisa seks
bebas serta penyimpangan seksual, mengkonsumsi obat-obatan terlarang, mencontoh
idola yang tidak tepat dan sebagainya (Qomariah, 2011: 18). 7 Tingkat perubahan
remaja baik sikap dan perilaku sejajar dengan tingkat perubahan fisiknya. Hal
ini berarti jika perubahan fisik terjadi dengan pesat, maka perubahan perilaku
dan sikap juga berlangsung dengan pesat. Sebaliknya, jika perkembangan fisik
menurun, maka perubahan perilaku dan sikap juga menurun (Hurlock, 1980: 207).
Terdapat perubahan yang hampir bersifat umum bagi remaja pada umumnya,
diantaranya meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat
perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Emosi berkembang sejak kecil namun
masa remaja juga sangat menentukan perkembangan emosi manusia sampai masa
perkembangan selanjutnya. Remaja sering mengalami perasaan tidak aman, tidak
tenang, dan khawatir. Masa remaja biasanya memiliki energi yang besar, emosi
yang mudah muncul, sedangkan pengendalian diri masih belum sempurna. Maka dari
itulah remaja sering mendapatkan banyak masalah dalam perkembangannya
dibandingkan fase perkembangan lainnya. (Rasalwati, 2010: 20). Ketidaksiapan
remaja dalam menangani masalahnya bisa akibat dari kurangnya pengalaman remaja
dalam menyelesaikan masalah saat kanakkanak. Sehingga pada saat remja dituntut
untuk dapat mandiri, remaja mengalami kesulitan dalam pembiasaannya. Hal ini
menjelaskan pentingnya ketepatan dalam menyelesaikan tugas perkembangan demi
kesiapan fase selanjutnya. Orangtua harus mengajar anaknya dalam hal mengatasi
masalah dengan temannya yang nakal, berempati pada sesama, memecahkan masalah,
8 mengatasi konflik, membangkitkan rasa humor, memotivasi diri bila menghadapi
saat-saat yang sulit, menghadapi situasi yang sulit dengan percaya diri, dan
menjalin keakraban. Ketiadaan hubungan emosional akibat penolakan antara
anggota keluarga atau perpisahan dengan orang tua seringkali menimbulkan
gangguan kepribadian. Sebaliknya, pemuasan emosional mendorong perkembangan
kepribadian (Hurlock, 1997: 210). Namun sebab utamanya berkaitan dengan keadaan
sosial, hubungan dengan orang lain atau masyarakat yang sekarang mengharapkan
reaksi yang lain daripada reaksi yang sama saat kanak-kanak. Jadi ketegangan
emosi lebih disebabkan karena penyesuaian terhadap harapan masyarakat baru yang
berkembangan dan berlainan dari harapan dirinya (Soesilowindradini, 1999: 140).
Emosi yang tidak stabil terjadi pada
remaja juga tidak terlepas dari bermacam-macam pengaruh, seperti lingkungan
tempat tinggal, keluarga, sekolah, dan teman-teman sebaya, serta aktivitas-aktivitas
yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Masa remaja yang identik dengan
lingkungan sosial tempat beraktivitas, membuat mereka dituntut untuk dapat
menyesuaikan diri secara efektif. Meskipun emosi remaja sering sangat kuat,
tidak terkendali, tetapi pada umumnya terjadi perbaikan perilaku emosional,
karena pengalaman memberikan pelajaran bagi remaja. Hal ini tentu karena mereka
memiliki kebutuhan untuk dapat diterima, sehingga selalu terjadi perubahan
kebutuhan yang harus dicapai. 9 Kebutuhan yang selalu berubah juga terjadi pada
remaja dalam proses untuk menjadi dewasa. Hal ini juga terjadi pada mahasiswa
UIN Maulana Malik Malang. Pada umumnya setiap mahasiswa memiliki perkembangan
yang tidak jauh berbeda dengan lainnya. Namun dilihat dari lingkungannya
mahasiswa UIN Malang memiliki perbedaan dengan mahasiswa lainnya. Hal ini
karena mereka memiliki kewajiban yang berbeda dengan mahasiswa lainnya, seperti
diawal perkuliahan yang memiliki kewajiban belajar bahasa Arab dan bahasa
Inggris ditambah dengan kewajiban untuk tinggal di asrama dengan mengikuti
program yang dinilai dapat menambah pengetahuan tentang Islam. Namun tidak
seluruhnya yang dilakukan mahasiswa UIN Malang bernilai positif. Peristiwa yang
tidak lama terjadi diantaranya bentrok antara sesama mahasiswa saat pelaksanaan
Pemilu Raya yang berakhir tanpa hasil yang diharapkan (RIE, 2011). Tidak lama
berselang mahasiswa UIN kembali melakukan demo di depan gedung rektorat yang
berakhir ricuh dengan satpam kampus yang mengakibatkan korban dari mahasiswa
(Mohammad, 2012). Tindakan keras dengan kurangnya kontrol emosi memunculkan
tindak kekerasan ditambah dari saling dorong antar mahasiswa. Tentunya alasan
dari demo dianggap baik namun dalam usaha untuk menyelesaikan masalah yang muncul
kurang dapat dilakukan dengan jalan yang damai. Apabila disesuai dengan
perkembangannya, mahasiswa seharusnya dapat mengendalikan tingkah lakunya.
Karena telah mampu memahami aturan yang seharusnya 10 ditaati. Kontrol diri
sangat diperlukan remaja agar tingkah laku yang muncul dapat diterima di
lingkungan tempatnya berada. Berdasarkan pada fakta yang ada, maka mahasiswa
UIN sebagai remaja lebih menunjukkan pada tindak kekerasan. Tindak kekerasan
yang muncul tentu memiliki alasan yang mereka anggap benar. Namun dalam hidup
bersosial tentu memiliki aturan yang dianggap benar, dan tindak kekerasan tentu
dianggap tindakan yang merugikan. Hal ini tentu memperjelas kurangnya kontrol
diri pada mahasiswa UIN Malang. Kurangnya kesadaran diri juga akan mengakibatkan
kurangnya kontrol diri.
Hal ini berdasarkan hasil wawancara
pada mahasiswa psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim yang ditanyakan akan mawas
diri terhadap emosinya, Biasanya situasi yang membuat saya baik Ya biasanya,
biasanya Kalo ada orang marah, dengar orang marah, dengar keributan terus
biasanya suasananya banyak pikiran. Meskipun gak ikutan tapi Ya buat gak enak
gitu. (RI, 16 Juli 2012, Kos) Hal tersebut menjelaskan mudah terbawa suasana
disekitarnya meskipun berkaitan dengan hal yang negatif. Dalam wawancara
lainnya yang berkaitan dengan kontrol diri, mendapatkan hasil wawancara: Gak
bisa ngomong seumene marah, aku marah sama kamu gitu ta, gak bisa. Aku paling
Cuma ngomong aku gak suka kalo gini. Gak bisa los (UK, 16 Juli 2012, Kos) Hal
tersebut mengungkapkan adanya kontrol diri pada intervewee namun kurang dapat
mengungkapkan bagaimana perasaan yang sebenarnya dirasakannya. Peneliti juga
bertanya berkaitan dengan keterampilan sosial khusunya dalam mendapatkan teman
baru, dengan hasil wawancara, 11 Enggak, susah adaptasinya, saya tipe orang
yang susah adaptasinya. (UK, 16 Juli 2012, Kos)
Peneliti juga menanyakan berkaitan dengan
kontrol diri, berikut hasil wawancara, Kadang tanpa gak sengaja tanpa
sepengetahuan ada orang yang sakit hati. Kadang belum tepat si waktunya Kadang
besok baru sadar. ada orang tanpa maksud tanpa sadar melakukannya.( RI, 16 Juli
2012, Kos) Hasil penelitian oleh Sri Mulyani yang berjudul “Analisis Pengaruh
Faktor-faktor Kecerdasan Emosi terhadap Komunikasi Interpersonal Perawat dengan
Pasien di Unit Rawat Inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang Tahun 2008. Dari
penelitian ini dapat diketahui Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perawat
yang mempunyai kesadaran emosi tinggi 65,5%, empati tinggi 56 % dan hubungan
sosial tinggi 57,1 %, ketiga variabel ini berpengaruh terhadap komunikasi
interpersonal perawat di Unit Rawat Inap RSJD Dr Amino Gondohutomo Semarang.
Sedangkan perawat yang mempunyai pengendalian emosi tinggi 52,4 % dan motivasi
diri tinggi 52,4%, kedua variabel ini tidak berpengaruh terhadap komunikasi
interpersonal perawat di Unit Rawat Inap RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang.
Penelitian lainnya yang berjudul “Hubungan antara kecerdasan emosi dengan
dengan kecendrungan pada sales problem focused coping” oleh RA Catur Wahtu Arbadiati
dan Ni Made Taganing Kurniawati pada tahun 2007, menunjukkan bahwa adanya
hubungan yang signifikan antara kecedasan emosi dengan problem focused coping
pada sales, semakin tinggi kecerdasan emosi sales semakin tinggi kecenderungan
problem focused coping dan semakin 12 rendah kecerdasan sales maka semakin
rendah kecenderungan problem focused coping. Jika memiliki kecerdasan emosi
yang baik maka cenderung mampu mengontrol dirinya dan mampu memotivasi dirinya
sehingga mampu memberikan dorongan pada dirinya untuk bertindak langsung
mencari pemecahan masalah. kecerdasan emosi memberikan sumbangan relatif atau
kontribusi 25 % terhadap kecenderungan problem focused coping. Problem focused
coping adalah usaha untuk mengurangi kebutuhan dalam situasi yang penuh stres
atau menambah usaha dalam meredakannya. Berdasarkan fenomena di atas, peneliti
ingin menguji kesesuaian teori kecerdasan emosi Daniel Goleman dengan fakta
yang ada pada mahasiswa yang memiliki berbagai masalah berkaitan dengan faktor
kecerdasan emosi baik dalam memahami diri atau emosinya, maupun kontrol diri
yang belum dapat dikuasainya maupun berkaitan dengan orang lain. Hal ini tentu
memiliki perbedaan pada setiap individu. Berdasarkan berbagai penelitian di
atas maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi sangat penting bagi setiap
individu khususnya berkaitan dengan tingkah laku yang muncul karena tingkah
laku disebabkan oleh emosi individu itu sendiri. Penelitian ini akan mengukur
besar sumbangan kesadaran diri, kontrol diri, motivasi diri, empati dan
hubungan sosial terhadap kecerdasan emosi mahasiswa fakultas psikologi UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang yang masih memiliki tugas perkembangan menuju fase
kedewasaan.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik
rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Berapa besar pengaruh kesadaran diri sebagai faktor kecerdasan
emosi pada mahasiswa psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang?
2. Berapa besar pengaruh kontrol diri sebagai faktor kecerdasan
emosi pada mahasiswa psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang?
3. Berapa besar pengaruh motivasi diri sebagai faktor kecerdasan
emosi pada mahasiswa psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang?
4. Berapa besar pengaruh
empati sebagai faktor kecerdasan emosi pada mahasiswa psikologi UIN Maulana
Malik Ibrahim Malang?
5. Berapa besar pengaruh keterampilan sosial sebagai faktor
kecerdasan emosi pada mahasiswa psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah
tersebut, maka dapat diketahui tujuan penelitian ini, antara lain:
1. Untuk mengetahui besar
pengaruh kesadaran diri sebagai faktor kecerdasan emosi pada mahasiswa
psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
2. Untuk mengetahui besar
pengaruh kontrol diri sebagai faktor kecerdasan emosi pada mahasiswa psikologi
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
3. Untuk mengetahui besar pengaruh motivasi diri sebagai faktor
kecerdasan emosi pada mahasiswa psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
4. Untuk mengetahui besar
pengaruh empati sebagai faktor kecerdasan emosi pada mahasiswa psikologi UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang
5. Untuk mengetahui besar pengaruh keterampilan sosial sebagai
faktor kecerdasan emosi pada mahasiswa psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini
mempunyai beberapa manfaat, antara lain ialah :
1. Dari segi teoritis,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ranah psikologi dan
memperkaya hasil penelitian yang telah ada dan dapat memberikan paparan
penjelasan mengenai faktor-faktor kecerdasan emosi.
2. Dari segi praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat
membantu memberikan informasi khususnya kepada para orang tua, konselor sekolah
dan guru dalam upaya membimbing dan memotivasi siswa remaja untuk mengembangkan
kecerdasan emosional yang dimilikinya.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Manajemen :Analisis faktor-faktor kecerdasan emosi mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang". Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment