Abstract
INDONESIA:
Dinamika perkembangan perbankan syariah di Indonesia tumbuh semakin pesat, dimana dalam perkembangannya bank syariah menjadi fenomena baru sebagai lembaga keuangan. Dengan konsep dan sistem yang berbeda dari bank konvensional, bank syariah menjadi alternatif solusi keuangan dari berbagai kalangan sebagai bentuk dukungan pembangunan suatu Negara dengan sistem keuangan yang sehat dan stabil. Perbedaan konsep tersebut terletak pada prinsip bank, dimana bank syariah menggunakan prinsip syariah islam dan non bunga dalam operasionalnya. Dengan adanya perbedaan tersebut, menjadikan dunia usaha perbankan syariah semakin kompleks sehingga tidak akan terlepas dari ancaman risiko. Sebagai lembaga intermediasi, bank syariah juga harus mampu menggerakkan sektor riil melalui aktivitas pembiayaan. Mengingat sebagian besar bank masih mengandalkan sumber pendapatan utamanya dari bisnis pembiayaan, hal ini dapat mengakibatkan terjadinya risiko pembiayaan pada bank syariah, tentunya akan berpengaruh terhadap tingkat likuiditas bank. Oleh karena itu, perlu adanya sistem yang dapat mengelola setiap terjadinya risiko pada bank syariah agar dapat berjalan dengan baik. Untuk itu, penelitian ini berupaya menganalisis Implementasi Manajemen Risiko Pembiayaan Mudharabah Dalam Upaya Menjaga Likuiditas Bank Syariah.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Oleh karena itu, peneliti melakukan observasi, wawancara dan dokumentasi kemudian menganalisisnya melalui reduksi data, penyajian data dan pembuatan kesimpulan.
Dari hasil penelitian ini, diperoleh gambaran tiga indikator penting yaitu: 1) Dalam upaya menerapkan sistem manajemen risiko, Bank BTN KCS Malang menerapkan sistem Enterprise Risk Management (ERM) yaitu sistem yang dapat mengidentifikasi dan mengelola setiap peristiwa-peristiwa potensial yang mempengaruhi entitas bank syariah. 2) Berkaitan dengan Implementasi Manajemen Risiko Pembiayaan Mudharabah, Bank BTN KCS Malang menerapkan upaya penyelamatan pembiayaan mudharabah bermasalah, yaitu: penyelamatan pembiayaan, penyitaan jaminan, penyelesaian melalui BASYARNAS, pengadilan negeri, dan hapus buku dan hapus tagih. 3) Dalam penilaian likuiditas, Bank BTN KCS Malang dinilai mampu menjaga tingkat likuiditasnya dalam batas yang aman. Hal ini terlihat dari penilaian CR tahun 2010 dan 2011 sebesar 260,68% dan 227,68% (ketentuan batas minimum CR BI 4,05%), RR 5,52% dan 9,35% (ketentuan BI 5%), FDR sebesar 66,25% dan 64,56% (ketentuan BI 110%), dan FAR sebesar 43,10% dan 42,45%.
ENGLISH:
The dynamics of the development of Islamic banking in Indonesia grows rapidly. In the development, Islamic banks become a new phenomenon as financial institutions. Since its concepts and systems are different from conventional banks, Islamic banks become alternative financial solutions from various circles as a form of supporting a country’s development with a stable and steady financial system. The difference of the concept lies in the banks’ principle. Different with conventional banks, Islamic banks use Islamic principles and non- interest banking system within the operation. These differences make the Islamic banking business more complex, thus, the threat of risk can’t be avoided. As intermediation institutions, Islamic banks should also be able to develop the real sector through financing activities. Since most banks still rely on financing business as the major income sources, the risk of financing in Islamic banks may be happened. It surely will affect the banks’ liquidity level. Therefore, a system that can manage any risk in Islamic banks is needed in order to run bank properly. This research aims to analyze the implementation of Mudharabah Risk Management to Maintain Syariah Bank Liquidity.
This research is a qualitative research using descriptive approach. Therefore, observations, interviews and documentation are conducted before analyzing the data through data reduction, data presentation and conclusions making.
As the result of this research, descriptions of three important indicators are obtained: 1) As an effort to implement risk management systems, the Malang Branch of Bank BTN Syariah implement Enterprise Risk Management (ERM) system. It is a system that can identify and manage any potential event that affects Islamic banking entities. 2) Relates to the implementation of mudharabah Risk Management, the Malang Branch of Bank BTN Syariah do some efforts of problematic mudharabah financing rescue, namely: financing rescue, foreclosure guarantees, settlement through BASYARNAS and the district court, and also receivable book removal and deletion. 3) Based on the assessment of liquidity, the Malang Branch of Bank BTN Syariah is considered capable of maintaining liquidity levels within a safe limit. The evidence supports this statement is the CR assessments in 2010 and 2011 which are up to 260.68% and 227.68% (the minimum limit of BI 4.05%), RR 5.52% and 9.35% (the minimum limit of BI 5%), FDR amounted to 66.25% and 64.56% (the minimum limit of BI 110%), and FAR which are up to 43.10% and 42.45%.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Sepanjang tiga dekade terakhir, industri keuangan syariah telah
menunjukkan peran dan keberadaannya dalam panggung sejarah ekonomi. Salah satu
faktor penting dalam pembangunan suatu negara adalah adanya dukungan dari
sistem keuangan yang sehat dan stabil. Perkembangan perekonomian yang semakin
kompleks membutuhkan ketersediaan dan peran serta lembaga keuangan. Pada era
modern ini, perbankan syariah telah menjadi fenomena global, termasuk di
negara-negara yang tidak berpenduduk mayoritas muslim (Agustianto, 2008). Di
Indonesia, pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah tumbuh semakin pesat
(Yulianti, 2009: 152). Bank yang dalam pelaksanaan operasionalnya menggunakan
prinsip-prinsip syariah islam (Sigit & Totok, 2006: 156; Amir &
Rukmana, 2010: 10-11; Faisal, 2011: 464) ini tumbuh dan terus berkembang.
Berdasarkan Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, prinsip
syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dengan
pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau
kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah (Riyadi, 2006: 213).
Keberadaan perbankan syariah dalam sistem keuangan saat ini adalah suatu fenomena
baru yang menarik perhatian dari berbagai kalangan. Keberadaannya telah
dipandang sebagai alternatif solusi dalam sistem keuangan (Amir & Rukmana,
2010: 6). Sistem dengan karakter utamanya yang bebas bunga ini telah 2
memperoleh apresiasi dalam masyarakat luas, bahkan dari kalangan non muslim
(Muhammad, 2004: 1). Bank syariah memiliki filosofi utama kemitraan dan
kebersamaan (sharing) dalam profit dan risk diharapkan dapat mengakomodasi
kebutuhan masyarakat terhadap layanan jasa perbankan yang sesuai dengan prinsip
syariah (Hamdan, 2006: 3; Sigit & Totok, 2006: 156). Sebagai sistem
alternatif, bank-bank syariah dirancang untuk menyediakan berbagai layanan
sistem keuangan dan perbankan kepada masyarakat sebagaimana yang telah
dilakukan perbankan konvensional. Oleh karena itu, bank-bank syariah diwajibkan
untuk selalu patuh pada ketentuan dan prinsip syariah Islam. Bank yang
berdasarkan prinsip syariah seperti halnya bank konvensional, juga berfungsi
sebagai suatu lembaga intermediasi (intermediary institution), yaitu
mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut kepada
masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan (Sulhan &
Siswanto, 2008: 11). Kegiatan operasional perbankan syariah di Indonesia
dimulai pada tahun 1992 melalui pendirian PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk
(PT.BMI) atau 4 tahun setelah Pakto 88. Secara hukum, operasional perbankan
syariah didasarkan pada undang-undang no.7 tahun 1992 tentang perbankan yang
kemudian diperbaharui dalam undang-undang no.10 tahun 1998. Keberadaan
bank-bank syariah, baik yang beroperasi secara standalone maupun sebagai
unit-unit operasional dari bank-bank konvensional, merupakan suatu upaya untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat yang sangat beragam (Antonio, 2001: 226). Dengan
diterapkannya sistem perbankan syariah yang berdampingan dengan sistem
perbankan 3 konvensional, mobilisasi dana masyarakat juga dapat dilakukan
secara lebih luas, terutama dari segmen masyarakat yang selama ini belum
tersentuh oleh sistem perbankan konvensional. Namun demikian, masa depan dari
industri perbankan syariah akan sangat bergantung pada kemampuannya untuk
merespon perubahan dalam dunia keuangan. Fenomena globalisasi dan revolusi
teknologi informasi, menjadikan ruang lingkup perbankan syariah akan semakin
dinamis, kompetitif dan kompleks (Yulianti, 2009: 152). Terlebih lagi adanya
tren pertumbuhan merger lintas segmen, akuisisi, dan konsolidasi keuangan yang
membaurkan risiko unik tiap segmen dari industri keuangan tersebut (Khan &
Ahmed, 2008: RINGKASAN EKSEKUTIF). Kajian manajemen risiko memang tengah naik
daun. Lembaga keuangan termasuk bank syariah, setidaknya telah mengakui bahwa
mereka harus memperhatikan cara-cara untuk memitigasi risiko agar bisa tetap
mempertahankan daya saing, profitabilitas, likuiditas dan loyalitas nasabah
(Yulianti: 2009: 156). Sebagai lembaga yang berdasarkan pada trust society
(Sigit & Totok, 2006: 9), aktivitas perbankan syariah akan selalu
bersinggungan dengan risiko (Faisal, 2011: 465). Situasi lingkungan eksternal
dan internal perbankan yang berkembang pesat dengan tingkat persaingan semakin
ketat yang diikuti semakin kompleksnya risiko kegiatan usaha perbankan, hal ini
mengharuskan perbankan syariah untuk menerapkan praktik dan tata kelola bank
yang sehat (good corporate governance) dan penerapan manajemen risiko (Rivai,
2010: 941) dengan tujuan untuk meminimalkan atau bahkan menghindari segala
macam risiko yang akan terjadi. 4 Hal ini selaras dengan Undang-undang No. 21
tahun 2008 tentang perbankan syariah pasal 38 ayat (1) yang menyatakan bahwa
pengelolaan manajemen risiko merupakan kewajiban bagi bank syariah agar
likuiditas dan profitabilitas bank tetap terjaga sehingga bank tidak mengalami
kesulitan dalam mengembangkan usaha dan memenuhi kewajiban jangka pendeknya (Yulianti,
2009: 156; Rivai et.al, 2010: 944; Faisal, 2011: 465).
Hal ini juga diperkuat oleh Peraturan Bank Indonesia No
13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Bank Umum Syariah
dan Unit Usaha Syariah yang menyatakan bahwa kegiatan usaha perbankan syariah
tidak akan terlepas dari risiko yang akan mengganggu kelangsungan bank. Oleh
karena itu, tingkat risiko bisnis dan pengelolaan risiko akan menjadi faktor
yang menentukan dalam perkembangan perbankan syariah dalam menghadapi persaingan
secara global. Belajar dari krisis perbankan di Indonesia pada tahun 1997, maka
penerapan manajemen risiko menjadi perhatian yang sangat serius di Indonesia.
Sesuai dengan peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang penerapan
manajemen risiko bagi bank umum, merupakan wujud keseriusan Bank Indonesia
dalam masalah manajemen risiko perbankan. Keseriusan tersebut lebih dipertegas
lagi dengan dikeluarkannya peraturan Bank Indonesia No.7/25/PBI/2005 pada
Agustus 2005 tentang sertifikasi manajemen risiko bagi pengurus dan pejabat
bank umum yang mengharuskan seluruh pejabat bank dari tingkat terendah hingga
tertinggi memiliki sertifikasi manajemen risiko sesuai dengan tingkat
jabatannya (Idroes, 2008: 52). 5 Kedua peraturan tersebut dilengkapi dengan
peraturan Bank Indonesia No.8/4/PBI/2006 yang disempurnakan dengan peraturan
Bank Indonesia No.8/14/PBI/2006 tentang pelaksanaan Good Corporate Governance
bagi bank umum yang menunjukkan keseriusan Bank Indonesia dalam meminta
pengurus perbankan agar taat untuk menerapkan manajemen risiko guna melindungi
kepentingan stakeholder (Idroes, 2008: 52). Dengan demikian, sudah menjadi
kewajiban bagi perbankan untuk mengembangkan serangkaian prosedur dan
metodologi untuk mengidentifikasi risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank.
Penerapan manajemen risiko akan memberikan manfaat, baik kepada perbankan
maupun otoritas pengawasan bank (Rivai: 2007: 792). Bagi perbankan, dapat
meningkatkan share value, memberikan gambaran kepada pengelola bank mengenai
kemungkinan kerugian bank di masa datang, meningkatkan metode dan proses
pengambilan keputusan yang sistematis didasarkan atas ketersediaan informasi,
digunakan sebagai dasar pengukuran yang lebih akurat mengenai kinerja bank,
digunakan untuk menilai risiko yang melekat pada instrument atau kegiatan usaha
bank yang relatif kompleks serta menciptakan infrastruktur manajemen risiko
yang kokoh dalam rangka meningkatkan daya saing bank. Bagi otoritas pengawasan
bank, penerapan manajemen risiko akan mempermudah penilaian terhadap kemungkinan
kerugian yang dihadapi bank, yang dapat mempengaruhi permodalan bank dan
sebagai salah satu dasar penilaian dalam menerapkan strategi dan fokus
pengawasan bank (Rivai: 2010: 941). Hal ini selaras dengan pernyataan Yung
(2006: 64) yang menyatakan bahwa 6 manajemen risiko memegang peranan yang
sangat penting dalam keberlangsungan suatu usaha perbankan. Aspek terpenting
dalam penerapan manajemen risiko adalah kecukupan prosedur dan metodologi
pengelolaan risiko, sehingga kegiatan usaha bank tetap dapat terkendali
(manageable) pada batas yang dapat diterima serta menguntungkan bank (Rivai:
2007: 793). Namun demikian mengingat perbedaan kondisi pasar struktur, ukuran
serta kompleksitas usaha bank, tidak ada satu sistem manajemen risiko yang
universal untuk seluruh bank, sehingga setiap bank harus membangun sistem
manajemen risiko sesuai dengan fungsi dan organisasi manajemen risiko pada bank
(Yulianti: 2009: 156) Merujuk Hampel,et.al (1994:88) resiko perbankan
dipengaruhi oleh lingkungan, sumberdaya manusia, layanan keuangan, dan neraca.
Secara umum perbankan akan menghadapi beberapa risiko yaitu risiko kredit,
likuiditas (Antonio, 2001: 182), pasar, operasional, hukum, reputasi, strategik
dan kepatuhan (Taswan, 2006: 297-298; Rivai.et.al, 2007: 806-831; Khan &
Ahmed, 2008: 11-14; Yulianti, 2009: 157-158). Dalam konteks penerapan manajemen
risiko, pedoman yang dijalankan selama ini dibuat hanya untuk bank-bank
konvensional (Yulianti, 2009: 158). Padahal pemain dalam bisnis perbankan dunia
dan nasional tidak hanya bank konvensional, tetapi juga telah diramaikan oleh
bank dengan prinsip syariah yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun
(Faisal, 2011: 465).
Di lain pihak, operasi bank bank syariah memiliki karakteristik
dengan perbedaan yang sangat mendasar jika dibandingkan dengan bank
konvensional, sementara manajemen 7 risiko juga harus diimplementasikan oleh
bank syariah agar tidak hancur dihantam risiko. Oleh karena itu, bagaimana
penerapan manajemen risiko pada bank syariah? Dan apa yang dapat dilakukan?
(www.InfoBankNews.com). Dalam hal ini Islamic Financial Services Board (IFSB)
telah merumuskan prinsip-prinsip manajemen risiko bagi bank dan lembaga
keuangan dengan prinsip-prinsip syariah (www.ifsb.org). Dalam executive summary
draft tersebut dengan jelas disebutkan bahwa kerangka manajemen risiko lembaga
keuangan syariah mengacu pada penerapan manajemen risiko Basel Accord II yang
diterapkan oleh lembaga keuangan konvensional, akan tetapi disesuaikan dengan
karakteristik lembaga keuangan dengan prinsip syariah (www.ifsb.org). Secara
umum, risiko yang dihadapi perbankan syariah bisa diklasikasikan menjadi dua
bagian besar. Yakni risiko yang sama dengan yang dihadapi bank konvensional,
seperti risiko kredit, risiko pasar, risiko benchmark (tingkat suku bunga),
risiko operasional, risiko likuiditas, dan risiko hukum. Dan juga risiko yang
memiliki keunikan tersendiri karena harus mengikuti prinsip-prinsip syariah,
sehingga risiko yang dihadapi bank syariah pun menjadi berbeda (Yulianti, 2009:
159). Bank syariah juga harus menghadapi risiko-risiko lain yang unik (khas).
Risiko unik ini muncul karena isi neraca bank syariah yang berbeda dengan bank
konvensional. Dalam hal ini pola bagi hasil (profit and loss sharing) yang
dilakukan bank syariah menambah kemungkinan munculnya risiko-risiko lain.
Seperti: withdrawal risk, fiduciary risk, dan displaced commercial risk
merupakan contoh risiko unik yang harus dihadapi bank syariah. Karakteristik
ini bersama- 8 sama dengan variasi model pembiayaan dan kepatuhan pada
prinsip-prinsip syariah (Khan & Ahmed, 2008: 3). Withdrawal risk merupakan
bagian dari spektrum risiko bisnis. Risiko ini sebagian besar dihasilkan dari
tekanan kompetitif yang dihadapi bank syariah dari bank konvesional sebagai
counterpart-nya. Bank syariah dapat terkena withdrawal risk (risiko penarikan
dana) disebabkan oleh deposan bila keuntungan yang mereka terima lebih rendah
dari tingkat return yang diberikan oleh rival kompetitornya. Fiduciary risk
sebagai risiko yang secara hukum bertanggung jawab atas pelanggaran kontrak
investasi baik ketidaksesuaiannya dengan ketentuan syariah atau salah kelola
(mismanagement) terhadap dana investor. Displaced commercial risk adalah
transfer risiko yang berhubungan dengan simpanan kepada pemegang ekuitas. Risiko
ini bisa muncul ketika bank berada di bawah tekanan untuk mendapatkan profit,
namun bank justru harus memberikan sebagian profitnya kepada deposan akibat
rendahnya tingkat return (Khan & Ahmed, 2001: 5; Greuning & Bratanovic,
2003: 195). Survei yang dilakukan Islamic Development Bank (2001) terhadap 17
lembaga keuangan syariah dari 10 negara mengimplikasikan, risiko-risiko unik
yang harus dihadapi bank syariah lebih serius mengancam kelangsungan usaha bank
syariah dibandingkan dengan risiko yang dihadapi bank konvesional. Survei
tersebut juga mengimplikasikan bahwa para nasabah bank syariah berpotensi
menarik simpanan mereka jika bank syariah memberikan hasil yang lebih rendah
daripada bunga bank konvesional (Khan & Ahmed, 2008: 195). Lebih jauh survei
tersebut menyatakan, model pembiayaaan bagi hasil, seperti diminishing 9
musyarakah, musyarakah, mudharabah, dan model jual-beli, seperti salam dan
istishna’, lebih berisiko ketimbang murabahah dan ijarah. Konsekuensinya,
teknik-teknik yang digunakan untuk melakukan identifikasi, pengukuran, dan
pengelolaan risiko pada bank syariah dibedakan menjadi dua jenis. Teknik-teknik
standar yang digunakan bank konvesional, asalkan tidak bertentangan dengan
prinsip syariah bisa diterapkan pada bank syariah. Beberapa di antaranya, GAP
analysis, maturity matching, internal rating sistem, dan risk adjusted return
on capital (RAROC) (Khan & Ahmed, 2008: 194). Di sisi lain, bank syariah
bisa mengembangkan teknik baru yang harus konsisten dengan prinsip-prinsip syariah.
Ini semua dilakukan dengan harapan bisa mengantisipasi risiko-risiko lain yang
sifatnya unik tersebut (Yulianti, 2009: 160). Mengingat bahwa sebagian besar
bank syariah masih mengandalkan sumber pendapatan utamanya dari bisnis
pembiayaan, sehingga tujuan pengelolaan risiko pembiayaan adalah untuk
mengendalikan risiko pembiayaan, melakukan penyebaran risiko portofolio,
menerapkan asas-asas pembiayaan yang sehat dan prinsip kehati-hatian (Faisal,
2011: 467), meningkatkan efesiensi dan efektivitas pengelolaan risiko,
pemenuhan kebutuhan pembiayaan sesuai syariah, serta menerapkan mitigasi dalam
bentuk persyaratan pembiayaan pada risiko yang terindifikasi (Rivai,et.al,
2007: 724). Risiko pembiayaan yang dihadapi oleh perbankan syariah merupakan
salah satu risiko yang harus dikelola secara tepat karena kesalahan dalam
pengelolaan risiko pembiayaan dapat berakibat fatal pada peningkatan NPL (Non
Performance Loans) (Husnul, 2009: 5).
Berkaitan dengan ini,
menurut Hulam (2010) praktik pembiayaan pada bank syariah saat ini banyak
dikembangkan dengan produk-produk yang ditawarkan, salah satunya adalah
mudharabah. Mudharabah adalah suatu kontrak kemitraan (partnership) yang
berlandaskan pada prinsip bagi hasil dengan cara seseorang memberikan modalnya
kepada orang lain untuk melakukan bisnis dan kedua belah pihak membagi
keuntungan atau memikul beban kerugian berdasarkan isi perjanjian bersama
(Rahman 1996: 380). Pembiayaan mudharabah merupakan jenis pembiayaan yang
berbasis natural uncertainty contracts (NUC), yaitu pembiayaan yang mengandung
risiko ketidakpastian dalam hal memperoleh keuntungan (Adiwarman, 2006: 394).
Dengan ini, pembiayaan mudharabah kurang diminati oleh bank syariah dibanding
dengan produk pembiayaan yang berprinsip jual-beli. Hal ini diakibatkan bank
syariah kurang mengetahui resiko ketidakpastian, untung atau rugi ketika
pengusaha mengelola dana mudharabah-nya (http://djokonug.blogspot.com).
Walaupun berbagai prosedur telah digunakan oleh pihak bank syariah namun resiko
ketidakpastian ini tetap kurang bisa diminimalisir. Masalah resiko
ketidakpastian ini merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari keberadaan
prinsip bagi-hasil di bank syariah. Oleh karena itu, bank syariah dituntut
ekstra hati-hati dalam mengelola pembiayaan mudharabah (http://djokonug.blogspot.com).
11 Perkembangan pembiayaan mudharabah yang disalurkan oleh Unit Usaha Syariah
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari tabel
berikut ini: Tabel 1.1 Jumlah Pembiayaan Mudharabah Unit Usaha Syariah 2010-2011
(dalam jutaan rupiah) Bank Syariah Jumlah Pembiayaan Mudharabah 2010 2011 Bank
BTN Syariah 1.466.680 2.146.429 Bank Danamon Syariah 570,383 819,913 Bank CIMB
Niaga Syariah 271,334 480,369 BII Syariah 190,358 124,848 Permata Bank Syariah
1.963 101,825 Sumber: www.bi.go.id (diolah kembali) Kelima Unit Usaha Syariah
(UUS) di atas menjadi salah satu contoh perbandingan dari penelitian ini. Hal
ini disebabkan, dari kelima UUS tersebut memiliki jumlah layanan terbanyak
dibandingkan dengan unit-unit usaha syariah yang lain. Dimana, bank Bank BTN
Syariah mempunyai layanan syariah sebanyak 116, Bank Danamon Syariah sebanyak
137, Bank CIMB Niaga Syariah sebanyak 522, dan Permata Bank Syariah Tabel 192
(www.bi.go.id). Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan UUS tersebut semakin
pesat, artinya sudah mendapatkan kepercayaan dari hati masyarakat. Tabel 1.1 di
atas menunjukkan bahwa pembiayaan mudharabah yang disalurkan oleh Unit Usaha
Syariah (UUS) mengalami peningkatan,
Hal ini menunjukkan bahwa pembiayaan mudharabah yang disalurkan
mendapatkan respon yang baik dari masyarakat. Akan tetapi, dengan adanya
peningkatan 12 pembiayaan tersebut, mengingat dengan risiko ketidakpastian
pembiayaan mudharabah maka diharapkan kepada Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah dapat mengelola pembiayaannya dengan baik agar supaya terhindar dari
risiko yang dapat mengganggu keberlangsungan bank syariah. Dengan demikian,
kajian mengenai manajemen risiko pembiayaan mudharabah pada bank syariah adalah
suatu hal yang penting. Dengan memperhatikan fenomena tersebut, kajian mengenai
perbankan syariah khususnya mengenai aspek manajemen risiko pembiayaan
mudharabahnya-nya menjadi hal yang layak untuk dikaji secara mendalam (Bashori,
2008; Niswati, 2008), karena bank dan pengawas bank di seluruh dunia semakin
menyadari bahwa praktek manajemen risiko yang baik memegang peranan penting
bagi keberhasilan bank dan juga sistem perbankan secara keseluruhan (Yung:
2006: 64). Sebagai bank yang berorientasi pada sektor riil, maka bank syariah
harus mampu memberikan pembiayaan yang signifikan agar sektor riil mampu
berkembang lebih pesat (Amir & Rukmana, 2010: 7). Berikut adalah total
pembiayaan dan NPL Gross pada bank unit usaha syariah di Indonesia. Tabel 1.2
Total Pembiayaan dan NPL Gross Bank Unit Usaha Syariah di Indonesia Tahun 2011
(Rp Triliun-Miliar) No Nama Bank Total Pembiayaan Prosentase NPL Gross 1 Bank
CIMB Niaga Syariah 7,63 T 133% 2,53% 2 Permata Bank Syariah 3,97 T 151% 2,4% 3
Bank BTN Syariah 3,46 T 43,55% 3,12% 4 BII Syariah 2 T 50% 2,57% 5 Bank Danamon
Syariah 1,6 T 25% 2,9% Sumber diolah: www.bi.go.id, data di olah. 13
Berdasarkan tabel 1.2 di atas, melihat pada nilai NPL Gross Unit Usaha Syariah
pada tahun 2011 berada dikisaran 2-3%. Hal ini menunjukkan bahwa, proses
penyaluran pembiayaan bank syariah berjalan dengan lancar dimana merujuk pada
ketentuan Bank Indonesia adalah sebesar 5%, ini terbukti bahwa kinerja
perbankan syariah sangat baik. Dengan jumlah pembiayaan yang semakin besar,
maka risiko yang dihadapi oleh perbankan syariah juga semakin besar. Dengan
demikian, Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) harus mampu
melakukan manajemen risiko pembiayaan secara tepat agar tidak terjadi Non
performance Loans (NPL), karena risiko pembiayaan akan berpengaruh terhadap
tingkat likuiditas bank syariah (Antonio: 2001: 182). Sebagai objek penelitian,
PT BTN Syariah merupakan salah satu unit bank syariah pendatang baru yang
memiliki prestasi dan kinerja yang bagus. Sebagai bahan evaluasi salah satunya
adalah penghargaan yang diraih oleh perusahaan, dimana kinerja perusahaan dari
sisi luar dapat tercermin dari banyaknya penghargaan yang diterima, sehingga
menjadi barometer didalam meningkatkan performance bisnis perusahaan.
Pencapaian kinerja tersebut bisa dilihat dari penerimaan penghargaan yang
diraih setiap tahunnya. Terlihat pada tahun 2005- 2012 PT BTN Syariah meraih
sederet penghargaan antara lain: 14 Tabel 1.3 Penghargaan PT BTN Syariah Tahun
2005-2008 No Nama Penghargaan Tahun Penganugrahan 1 Banking Quality Awards 2005
“The Best Customer Service and Teller 1st Rank” 2005 2 ·
Islamic Finance Quality Award & Islamic Financial Award 2006 “Unit Usaha
Syariah Terbaik Kelompok Aset >100 Milyar Rupiah Peringkat 2” ·
Islamic Finance Quality Award & Islamic Financial Award 2006 “Most Growing
Earning Asset Marketing”, “Unit Usaha Syariah Kelompok Aset >100 Milyar
Rupiah” 2006 3 · Syariah Acceleration Award 2007 “Best Outlet Productivity” ·
Unit Usaha Syariah Terbaik Kelompok Asset > Rp 100 Milyar “Most Growing
Earning Asset Market Share Unit Usaha Syariah Kelompok Aset > Rp 100 Milyar”
2007 4 Islamic Finance Award & Cup 2008 “The Best Sharia Division Asset
> Rp. 500M 2nd Rank” “2nd rank in the Most Third Party Fund Expansion Sharia
Division-Asset > 500 Milyar Rupiah” “Sharia Acceleration Award” “2nd rank in
the Best Sharia Division-Asset > 500 Milyard” “Most Growing Earning Asset
market Share Unit Usaha Syariah, Kelompok Asset > 100 Milyard” 2008 5 “3rd
rank in the Best Sharia Unit-Asset > 1 Trilion” “The Best Performing Sharia
Funding Islamic Institue” “1st rank in the Most prudent Sharia Unit-Asset >
Rp 1 Trilion” “2nd rank in the Most Expansive Financing Sharia Unit-Asset >
Rp 1 Trilion” “3rd rank in the Most Expansive Funding Sharia Unit-Asset Rp 1
Trilion” “3rd rank in Sharia Skill Competition” 2009 6 “The Most Favourite
Growt Sharia Mortgage 2010 15 Expension dari Property Bank” “3rd rank The Best
Sharia unit Asset > Rp 1 Trilion dari Karim Business Consulting” “1st rank
The Most Expansive Financing dari Karim Business Consulting” “7th rank
Indonesia Sharia Bank Loyalty index (Saving Account) dari Majalah Infobank” 7
“1st rank The Best Sharia Unit Asset > IDR 500 Billion” “1st rank The Most
Expansive Third Party Fund Sharia Unit > Rp 500 Billion” “2nd Rank Indonesia
Service to Care Award 2011” “2nd rank The Most Convenient Office dari karim
Business Consulting” “3rd Rank The most Expansive Financing Sharia Unit, Asset
> Rp 500 billion dari Karim Business Consulting” “3rd rank The Best Office
Equipment dari Karim Business Consulting” 2011 8 “The Best of Indonesia Service
To Care Champion 2012” 2012 Sumber : http://www.btn.co.id Dari berbagai macam
penghargaan yang diterima oleh PT BTN Syariah telah membuktikan bahwa PT BTN
Syariah meskipun masih relatif baru, tetapi sudah mempunyai kinerja yang bagus
dan mampu bersaing dengan unit bank syariah lainnya. Berdasarkan kajian diatas,
peneliti tertarik untuk mencoba meneliti masalah bagaimana implementasi
manajemen risiko pembiayaan mudharabah yang di terapkan di PT BTN Kantor Cabang
Syariah Malang dalam Upaya Menjaga Likuiditas Bank Syariah.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian latar
belakang di atas, secara spesifik penelitian ini diarahkan untuk menjawab
pertanyaan: Bagaimana implementasi manajemen resiko pembiayaan di PT BTN Kantor
Cabang Syariah Malang sebagai upaya menjaga likuiditas bank?
1.3
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian
ini adalah untuk menganalisis implementasi manajemen risiko pembiayaan yang
diterapkan oleh PT BTN Kantor Cabang Syariah Malang dalam upaya menjaga
likuiditasnya secara konsolidasi (keseluruhan).
1.4
Batasan
Penelitian
Pembahasan mengenai Analisis
Implementasi Manajemen Risiko Pembiayaan Mudharabah Dalam Upaya Menajaga
Likuditas Bank Syariah adalah kompleks. Untuk itu, peneliti memfokuskan
penelitian ini terhadap tiga indikator penting yang akan dibahas pada BAB
selanjutnya, yaitu:
a. Implementasi Manajemen
Risiko
b. Implementasi Manajemen Risiko Pembiayaan Mudharabah
c.
Penilaian Likuiditas Khusus untuk indikator kedua, peneliti memfokuskan pada
nasabah (Koperasi) sebagai contoh objek penelitian. Hal ini dilakukan karena
jumlah nilai total pembiayaan mudharabah nasabah (Koperasi) lebih besar
dibandingkan dengan nilai total pembiayaan mudharabah nasabah (individual).
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Manajemen :Analisis implementasi manajemen risiko pembiayaan mudharabah dalam upaya menjaga likuiditas bank syariah: Studi pada PT BTN Kantor Cabang Syariah Malang. Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment