Abstract
INDONESIA:
Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) pada saat ini telah berkembang pesat di Indonesia. Kondisi ini membuat LKMS mengalami persaingan yang ketat sehingga tidak menutup kemungkinan persaingan tersebut akan mengarah kepada persaingan tidak sehat dan dapat merugikan konsumen bahkan perekonomian nasional. Selain itu bentuk LKMS juga sangat beragam, baik bank maupun non- bank, dan pengawasannya masih belum terintegrasi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut pemerintah membentuk Otoritas Jasa Keuangan yang berfungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Dari latar belakang itulah sehingga penelitian ini dilakukan dengan judul “Implementasi Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap Lembaga Keuangan Mikro Syariah (Studi Kasus pada OJK Cabang Malang)” yang bertujuan untuk mengetahui implementasi pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap Lembaga Keuangan Mikro Syariah.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dimana tujuannya adalah untuk menggambarkan secara sistematis tentang fokus penelitian yang meliputi implementasi pengawasan. Subyek dalam penelitian ini adalah Otoritas Jasa Keungan. Analisis data bertujuan untuk menyederhanakan hasil olahan data, sehingga mudah untuk dibaca dan diinterpretasikan. Data dikumpulkan dengan cara wawancara dan dokumentasi. Analisa data melalui tiga tahap: reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pengawasan yang dilakukan OJK terhadap LKMS didasarkan pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. Pengawasan tersebut kemudian didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
ENGLISH:
Today, the Sharia Microfinance Institutions (LKMS) has been growing rapidly in Indonesia. This makes the LKMS experiencing an intense competition in which it does not rule out the possibility of the competition that will lead to unfair competition, and can harm consumers and even the national economy. In addition, the form of LKMS also varies, either banks or non-banks, and its supervision has not been integrated. In order to solve these problems, the government established the Indonesia Financial Services Authority (OJK), which serves to implement the integrated regulation and supervision system of the entire activities in financial services sector. For this reason, this study entitled "The Implementation of Supervision for Indonesia Financial Services Authority (OJK) toward the Sharia Microfinance Institutions (a Case Study on OJK in Malang)" is conducted in which it aims to find out the implementation of the Indonesia Financial Services Authority (OJK) supervision toward the Sharia Microfinance Institutions.
This study uses descriptive qualitative approach where its goal is to systematically describe the research focus which includes the implementation of the supervision. The subject in this study is the Indonesia Financial Services Authority (OJK). The data analysis is aimed to simplify the result of data processing in order to make it easy to read and to interpret. The data are collected through interviews and documentations. There are three steps in analyzing the data: data reduction, data presentation and drawing the conclusion.
The result shows that the supervision conducted by OJK toward LKMS is based on Indonesian Law, No. 21 of 2011 on the Indonesia Financial Services Authority (OJK) and Indonesian Law, No. 1 of 2013 on Microfinance Institutions. The supervision is then delegated to the District/City Government through Regional Work Units (SKPD).
BAB I
PENDAHULAN
1.1
Latar
Belakang
Saat ini Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai sebuah
gagasan dan kewajiban untuk menjaga eksistensi perusahaan agar diterima dengan
baik dalam rantai bisnisnya. Perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung
jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate
value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Akan
tetapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines.
Konsep tripple bottom line yaitu sebuah konsep pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) pada aspek keuangan, aspek sosial dan aspek
lingkungan yaitu people, profit dan planet (Rachman, Efendi dan Wicaksana 2011:
12). Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin apabila perusahaan
memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta
bagaimana resistensi masyarakat sekitar muncul ke permukaan terhadap perusahaan
yang dianggap tidak memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan
hidupnya (Nurlela dan Islahudin, 2008: 12 ). Wilayah daratan Indonesia telah
dikuasai oleh perusahaan ekstraktif, kehutanan dan perkebunan lebih dari 62%
dari wilayahnya. Hal ini mengakibatkan selama 2 dekade terakhir mulai tahun
1950-2000, dengan total 40% hutan di 2 Indonesia mengalami kerusakan. Berkaitan
dengan semakin meningkatnya tingkat kerusakan hutan dan lahan, tentunya tidak
lepas dari semakin banyaknya perusahaan-perusahaan bidang kehutanan,
pertambangan dan perkebunan yang menanamkan modal di Indonesia. Hal inilah yang
menimbulkan beberapa kasus yang berhubungan antara masyarakat dengan perusahaan
(Sarker, 2013). Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) merilis
Catatan Akhir Tahun 2013 tentang kerusakan hutan di Riau. Sepanjang tahun 2013,
hutan alam kembali ditebang oleh korporasi berbasis tanaman industri dan
korporasi perkebunan kelapa sawit. Data Jikalahari menunjukkan tiga tahun
belakangan (2009-2012), Riau kehilangan tutupan hutan alam sebesar 565.197.8
hektar (0,5 juta hektar), dengan laju deforestasi pertahun sebesar 188 ribu
hektar pertahun atau setara dengan hilangnya 10 ribu kali lapangan futsal per
hari. Dan 73,5 persen kehancuran itu terjadi pada Hutan Alam Gambut yang
seharusnya dilindungi. Hal ini diakibatkan oleh buruknya tata kelola kehutanan
di Riau karena pemerintah Indonesia membiarkan korporasi menebang hutan alam,
merampas hutan tanah rakyat, melakukan praktek korupsi, illegal logging dan
perusakan ekologis (Tempo, 2014). Selain itu kerusakan lingkungan akibat
penambangan batubara adalah yang paling parah diakibatkan oleh teknik
penambangan open pit mining yaitu dengan menghilangkan vegetasi penutup tanah,
mengupas lapisan atas tanah yang relatif subur. Teknik ini dipakai biasanya
ketika cadangan batubara relatif dekat dengan permukaan tanah dan biasa
diterapkan oleh perusahaan yang relatif bermodal kecil 3 sehingga hanya mampu
menggunakan teknologi rendah yang bersifat tidak ramah lingkungan. Teknik ini
sangat memungkinkan merusak alam antara lain perubahan sifat tanah, munculnya
lapisan bahan induk berproduktivitas rendah, lahan menjadi masam dan garam
meracuni tanaman, dan terjadinya erosi dan sedimentasi (Agustin, 2008: 9).
Menurut Dianto Bachriadi selaku perwakilan dari Komnas HAM, mengatakan bahwa pelanggran
HAM di sektor Sumber Daya Alam (SDA) juga mengalami peningkatan. Adapun bentuk
pelanggaran yang dipicu oleh perusahaan besar, diantaranya konflik agraria,
pencemaran lingkungan dan konflik perburuhan.
Berkaitan dengan pencemaran lingkungan khususnya sungai dan Daerah
Aliran Sungai lainnya, Laporan Badan Lingkungan Hidup (BLH) menyebutkan
beberapa kasus pencemaran yang berhubungan dengan ketidakpatuhan pihak
perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kegiatan penambangan batubara
PT. Kideco Jaya Agung di Kalimantan Timur menyebabkan anak sungai Salang,
sungai Lolo dan lahan serta kebun kelapa sawit masyarakat mengalami pencemaran
dan kerusakan. Pabrik minyak kelapa sawit PT. Harapan Sawit Sejahtera (PT. HSS)
yang mencemari sungai Pekasau (Kaltim) yang menyebabkan penurunan kualitas air.
Dalam konflik perburuhan juga terdapat pelanggaran HAM, seperti pelanggaran HAM
untuk bekerja yang layak, pelanggaran hak untuk berserikat dan pelanggaran hak
kesehatan (WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), 2013). 4 Pemerintah Indonesia telah
mewajibkan pengungkapan corporate social responsibility yang dilakukan
perusahaan di dalam mempertanggungjawabkan kegiatan perusahaannya dalam bentuk
tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility).
Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas (UU PT). Pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas
menyatakan: (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau
berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan. (2) Tanggung Jawab Sosial Lingkungan merupakan kewajiban Perseroan
yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. (3) Perseroan yang tidak
melaksanakan kewajiban dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Lebih lanjut lagi untuk ini melaksanakan ketentuan Pasal 74
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 ini adalah telah ditetapkannya PP No 47 tahun
2012 yang secara spesifik mengatur tentang kewajiban, implementasi dan sanksi
bagi perusahaan perkebunan, kehutanan dan pertambangan dalam mengungkapkan CSR.
Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang pengungkapan tanggung jawab sosial
dan lingkungan yang bertujuan mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan guna
meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi komunitas
setempat dan masyarakat pada umumnya maupun perseroan itu sendiri dalam rangka
terjalinnya hubungan perseroan yang serasi, 5 seimbang, dan sesuai dengan
lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat (Sarker, 2013).
Pemilihan perusahaan pertambangan, perkebunan dan kehutanan dalam penelitian
ini berdasarkan bahwa perusahaan dengan jenis ini mengambil langsung bahan
mentah dari alam untuk kegiatan operasional. Perusahaan jenis ini adalah
perusahaan yang memiliki dampak langsung terhadap kerusakan lingkungan hidup
dan sosial masyarakat sekitar.
Oleh karena itu, perusahaan dalam jenis ini diwajibkan dalam
mengungkapkan bentuk tanggung jawab sosial perusahaan kepada stakeholder yang
telah diatur dalam UU PT. Hal ini dilakukan untuk menjaga reputasi perusahaan
atau agar perusahaan bisa tetap berkelanjutan (going concern) dan terhindar
dari berbagai bentuk penolakan masyarakat. Penjelasan ini didukung oleh teori
legitimasi (legitimacy theory) yang memberikan alternatif jawaban atas
pertanyaan mengapa perusahaan harus mengungkapkan akuntansi lingkungan dan
corporate social responsibility. Secara teoritis, semakin banyaknya aktivitas
CSR yang diungkapkan oleh perusahaan, maka nilai perusahaan akan semakin
meningkat karena pasar akan memberikan apresiasi positif kepada perusahaan yang
melakukan CSR yang ditunjukkan dengan peningkatan harga saham perusahaan.
Investor mengapresiasi praktik CSR dan melihat aktivitas CSR sebagai pedoman
untuk menilai potensi keberlanjutan suatu perusahaan. Oleh sebab itu, dalam
mengambil keputusan investasi, banyak investor yang cukup memperhatikan CSR
yang diungkapkan oleh perusahaan (Ghoul et al., 2011 dalam Rosiana, Juliarsa
dan Sari: 2013). 6 Adanya kesadaran dari perusahaan akan arti penting merk dan
reputasi perusahaan dalam membawa perusahaan menuju bisnis berkelanjutan juga
menjadi alasan sebuah perusahaan dalam pegungkapan aktivitas CSRnya (Nurlela
dan Islahudin, 2008: 8). Beberapa penelitian tentang pengaruh pengungkapan
corporate social responsibility (CSR) terhadap nilai perusahaan tidak selalu
mendapatkan hasil yang konsisten, seperti penelitian yang dilakukan oleh
Suhartati, Warsini dan Sixpria (2011) yang berjudul “Pengaruh Pengungkapan
Tanggung Jawab Sosial dan Praktik Tata Kelola Perusahaan Terhadap Nilai
Perusahaa” menunjukkan bahwa pengungkapan CSR tidak berpengaruh positif
terhadap nilai perusahaan. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Nurlela
dan Islahudin (2008: 27) “Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap
Nilai Perusahaan dengan Prosentase Kepemilikan Manajemen sebagai Variabel
Moderating” menyatakan bahwa secara simultan pengungkapan CSR berpengaruh
signifikan terhadap nilai perusahaan dengan prosentase kepemilikan manjemen
berpegaruh terhadap CSR sebagai variabel moderating.
Akan tetapi secara parsial pengungkapan CSR tidak berpengaruh
signifikan terhadap nilai perusahaan. Oleh sebab itu penelitian ini menggunakan
struktur kepemilikan modal asing dan kinerja lingkungan sebagai variabel
moderating yang diduga turut memperkuat atau bahkan memperlemah hubungan antara
CSR terhadap nilai perusahaan. Data tentang prosentase kepemilikan asing, dan
pengungkapan CSR dapat diambil dari laporan tahunan perusahaan, sustainability
report dan juga 7 website masing-masing perusahaan. Sedangkan variabel
lingkungan dapat dilihat dari kinerja lingkungan perusahaan berdasarkan hasil
penilaian PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan) yang
dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup
sendiri telah melaksanakan program lingkungan yang diberi nama PROPER dalam
Pengelolaan Lingkungan Hidup sejak tahun 2002. PROPER didesain untuk mendorong
penataan perusahaan dalam pengelolaan lingkungan melalui instrumen insentif dan
disinsentif. Insentif dalam bentuk penyebarluasan kepada publik tentang
reputasi atau citra baik bagi perusahaan tambang yang mempunyai kinerja
pengelolaan lingkungan yang baik. Ini ditandai dengan label Biru, Hijau dan
Emas. Disinsentif dalam bentuk penyebarluasan reputasi atau citra buruk bagi
perusahaan yang mempunyai kinerja pengelolaan lingkungan yang tidak baik. Ini
ditandai dengan label Merah dan Hitam (www.mnhl.go.id). Penggunaan variabel struktur
kepemilikan modal asing dalam penelitian ini mengacu pada Rustiarini (2010: 9)
yang menyatakan bahwa selama ini kepemilikan asing merupakan pihak yang
dianggap concern terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
Seperti diketahui, negara-negara di Eropa sangat memperhatikan isu sosial
misalnya hak asasi manusia, pendidikan, tenaga kerja, dan lingkungan seperti
efek rumah kaca, pembalakan liar, serta pencemaran air. Hal ini menjadikan
perusahaan multinasional mulai mengubah 8 perilaku mereka dalam beroperasi demi
menjaga legitimasi dan reputasi perusahaan. Perusahaan multinasional dengan
kepemilikan asing utamanya melihat keuntungan legitimasi berasal dari para
stakeholdernya yang biasanya berdasarkan atas home market (pasar tempat beroperasi)
sehingga dapat memberikan eksistensi yang tinggi dalam jangka panjang.
Pengungkapan tanggung jawab sosial merupakan salah satu media yang dipilih
untuk memperlihatkan kepedulian perusahaan terhadap masyarakat di sekitarnya.
Dengan kata lain, apabila perusahaan memiliki kontrak dengan foreign
stakeholders baik dalam ownership dan trade, maka perusahaan akan lebih
didukung dalam melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial (Barkemeyer, 2007
dalam Rustiarini, 2010: 9).
Berdasarkan hasil uraian yang telah dijabarkan di atas, maka
penelitian ini akan meneliti kembali pengaruh pengungkapan CSR terhadap nilai
perusahaan yang berjudul “Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility
(CSR) terhadap Nilai Perusahaan dengan Kinerja Lingkungan dan Struktur Kepemilikan
Modal Asing sebagai Variabel Moderating”. 1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah corporate social
responsibility berpengaruh terhadap nilai perusahaan?
2. Apakah kinerja lingkungan berpengaruh terhadap nilai perusahaan
sebagai variabel independen maupun sebagai variabel pemoderasi?
3. Apakah struktur
kepemilikan modal asing berpengaruh terhadap nilai perusahaan baik sebagai
variabel independen maupun sebagai variabel pemoderasi?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengaruh corporate social responsibiity terhadap nilai
perusahaan.
2. Mengetahui pengaruh kinerja lingkungan terhadap nilai perusahaan
baik sebagai variabel independen maupun sebagai variabel pemoderasi.
3. Mengetahui pengaruh struktur kepemilikan modal asing terhadap
nilai perusahaan baik sebagai variabel independen maupun sebagai variabel
pemoderasi.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini
adalah:
1. Memberikan manfaat kepada berbagai pihak, diantaranya
perusahaan, akademisi, pemerintah dan masyarakat luas mengenai hubungan positif
antara ketiga variabel di atas.
2. Memberikan implikasi bahwa pengungkapan CSR digunakan oleh
perusahaan khususnya kehutanan, pertambangan dan industri untuk membenarkan (legitimize) aktifitas-aktifitas
perusahaan yang berdampak buruk terhadap lingkungan.
1.4 Batasan Penelitian
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini terbatas pada perusahaan pertambangan, perkebunan
dan kehutanan yang selama 3 tahun mulai berturut-turut dari tahun 2011 hingga
2013 yang listing di BEI, menerbitkan annual report dan mengikuti program
PROPER.
2.
Sebagian besar PROPER melakukan pengujian secara sektoral, sehingga untuk
perusahaan yang besar, yang memiliki anak perusahaan, cabang ataupun pabrik,
kadangkala tidak memiliki peringkat yang sama, sehingga pada akhirnya peneliti
memberikan kesimpulan peringkat perusahaan secara keseluruhan berdasarkan
banyaknya jumlah perusahaan anak/ cabang yang menduduki peringkat tertentu.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Akutansi : Implementasi pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap lembaga keuangan mikro syariah: Studi kasus pada OJK Cabang Malang. Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment