Abstract
INDONESIA:
Dalam praktik bagi hasil usaha tebu, pabrik gula merupakan pihak yang memberikan jasa penggilingan tebu pada para petani. Sedangkan petani tebu merupakan penghasil tebu yang membutuhkan jasa penggilingan dari pabrik gula. Dalam pelaksanaan kerjasama pabrik gula Gempolkrep memberikan pinjaman modal kepada petani untuk membeli bibit, pupuk, dan perawatan lahan. Bagi hasil pabrik dan petani sesuai dengan perjanjian adalah 70% untuk petani dan 30% untuk pabrik. Namun hubungan kerjasama antara pabrik gula dengan petani tidak selalu harmonis. Dalam bagi hasil tebu para petani merasa dirugikan dalam sistem bagi hasil yang telah dilakukan oleh pabrik. Agar tercipta keselarasan maka perlu adanya evaluasi praktik bagi hasil usaha tebu di Pabrik Gula Gempolkrep Mojokerto. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana praktik bagi hasil yang diterapkan di Pabrik Gula Gempolkrep dalam perspektif Islam. Dari latar belakang itulah sehingga penelitian ini dilakukan dengan judul “Evaluasi Praktik Bagi Hasil Usaha Tebu di Pabrik Gula Gempolkrep Mojokerto dalam Perspektif Islam”.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dimana tujuannya untuk menggambarkan secara sistematis tentang fokus penelitian pada bagi hasil usaha tebu. Subyek penelitian ada 2 orang. Analisis data bertujuan untuk menyederhanakan hasil olahan data, sehingga mudah untuk dibaca dan diinterpretasikan. Data yang diperoleh dengan cara observasi, interview (wawancara) dan dokumentasi. Analisa data melalui tiga tahap : reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (verifikasi).
Hasil penelitian kerjasama yang dilakukan pabrik gula Gempolkrep dengan petani tebu dalam perspektif hukum Islam dinyatakan sah sebab telah sesuai dengan syarat sahnya objek akad. Sedangkan praktik bagi hasil antara pabrik gula Gempolkrep dengan petani tebu telah sesuai dengan konsep keadilan dalam hukum Islam.
ENGLISH:
In practice the results of operations of sugarcane, sugar mills are parties who provide services of milling sugar cane farmers. While sugarcane is the producer of sugarcane farmers who need the services of a sugar mill grinding. In the implementation of cooperative sugar factories Gempolkrep provide capital loans to farmers to buy seeds, fertilizer, and soil treatment. For the results of the factory and the farmers in accordance with the agreement was 70 % and 30 % for farmers to plant. But the cooperative relationship between sugar mills and farmers are not always harmonious. In result of cane for farmers feel disadvantaged in sharing system which has been done by the factory. In order to create alignment it is necessary to evaluate the results of operations practices for cane sugar factory Gempolkrep in Mojokerto. The purpose of this study was to determine how the results are applied to the practice at Sugar Factory Gempolkrep in Islamic perspective. From that background that this study was conducted with the heading " Results of Operations Evaluation Practice For Sugar Cane Factory Gempolkrep in Mojokerto in Islamic Perspective ".
This study used a descriptive qualitative approach where the goal is to describe systematically the focus of research on the sugarcane business results. The study subjects there are 2 people. Data analysis aims to simplify the data processed , making it easy to read and interpret. The data obtained by observation, interviews ( interviews ) and documentation. Analysis of data through three stages : data reduction, data display, and conclusion ( verification ).
The results of collaborative research with farmers plant sugar cane Gempolkrep perspective of Islamic law has been declared valid reasons in accordance with the contract terms object validity. While the practice of revenue sharing between Gempolkrep sugar mill with cane farmers in accordance with the concept of justice in Islamic lawBAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Indonesia mempunyai potensi
menjadi produsen gula dunia karena didukung agrokosistem, luas lahan serta
tenaga kerja yang memadai. Di samping itu juga prospek pasar gula di Indonesia
cukup menjanjikan dengan konsumsi sebesar 4,2 – 4,7 juta ton per tahun. Gula
juga merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat yang saat ini menjadi
masalah karena kekurangan produksi dalam negeri, sementara kebutuhan terus
meningkat. Saat ini pabrik gula yang ada di Pulau Jawa relatif secara teknis
sudah tua, sehingga kurang produktif. Hampir semua pabrik gula sangat
tergantung pada petani tebu dan dengan lahan terbatas di Pulau Jawa. Sementara
pabrik gula rafinasi1 yang ada (8 pabrik) belum berproduksi secara optimal
(utilisasi kapasitas sekitar 40% - 60% pada tahun 2008. Indonesia sebagai
negara importir gula baik untuk gula Kristal mentah (raw sugar) maupun gula
industri (refined sugar) itu disebabkan pesatnya perkembangan kebutuhan gula
sementara peningkatan produksi relatif belum seimbang. (departemen
perindustrian, 2009) Pemerintah dalam menangani kebijakan produksi gula belum
terlalu jelas bila dibandingkan dengan kebijakan produksi dibidang beras. Kalau
dalam hal beras pemerintah memberikan prioritas utama untuk mencapai swasembada
maka dalam hal gula sasaran ini tidak ditegaskan. 1 Gula yang berasal dari tebu
yang sudah di pisahkan dari zat-zat lainnya. 2 Semua perkebunan gula masih
menggunakan lahan sawah milik rakyat baik dengan sistem sewa biasa, sistem bagi
hasil atau dengan sistem tebu rakyat. Industri gula di Indonesia dikelompokkan
menjadi 2, pabrik gula (PG) dan pabrik gula rafinasi (PGR). Pabrik gula (PG) di
Indonesia ada 59 pabrik sedangkan pabrik gula rafinasi (PGR) ada 8 pabrik.
Pada tahun 2008 Indonesia memproduksi gula putih sebesar 2,67 juta
ton dan gula rafinasi sebesar 1,256 juta ton. Indonesia juga mengimpor gula
dari Thailand, Brazil, Uni Eropa, Korea, Malaysia, Australia dan Afrika Selatan
sebesar 2,3 juta ton setara raw sugar, terdiri dari white sugar, refined sugar
dan raw sugar.(departemen perindustrian, 2009) 3 Berikut ini data perkembangan
areal perkebunan di Jawa Timur lima tahun terakhir menurut jenis pengusahaannya
: Tabel 1.1 Perkembangan Areal Perkebunan di Jawa Timur menurut Jenis
Pengusahaannya Tahun 2007 – 2011 Perkebunan Areal (Ha) Pertumbuhan
Angka Sementara (sumber : www.disbun.jatimprov.go.id) 4 Berikut ini data perkembangan produksi komoditi perkebunan di Jawa Timur tahun 2007 – 2011 menurut jenis pengusahaannya : Tabel 1.2 Perkembangan Produksi Perkebunan di Jawa Timur menurut Jenis Pengusahaannya Tahun 2007 – 2011 (sumber : www.disbun.jatimprov.go.id)
Angka Sementara (sumber : www.disbun.jatimprov.go.id) 4 Berikut ini data perkembangan produksi komoditi perkebunan di Jawa Timur tahun 2007 – 2011 menurut jenis pengusahaannya : Tabel 1.2 Perkembangan Produksi Perkebunan di Jawa Timur menurut Jenis Pengusahaannya Tahun 2007 – 2011 (sumber : www.disbun.jatimprov.go.id)
Kenaikan produktivitas gula di Indonesia saat ini meningkat
ditandai dengan peningkatan rendemen pada tahun 2012 sebesar 8,12% lebih tinggi
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yang hanya 7,5%. Sehingga pemerintah
optimis bahwa produksi gula nasional akan Perkebunan Areal (Ha) Pertumbuhan (%)
2007 2008 2009 2010 2011* Perkebunan Rakyat (PR) 1.480.1928 1.685.496 1.454.905
1.362.732 1.490.280 -3,81 Perkebunan Besar Negara (PTPN) 113.929 107.563
120.702 136.061 146.519 21,27 Perkebunan Besar Swasta (PBS) 28.969 30.018
28.598 28.127 26.563 -4,15 Total 1.623.090 1.823.077 1.604.205 1.526.920
1.663.363 -2,27 *)Angka Sementara 5 terus meningkat setiap tahunnya. Pemerintah
juga memperluas areal lahan perkebunan tebu rakyat 1.000 hektar sampai 2.000
hektar. PTPN X juga akan memperluas areal di Madura seluas 10.000 hektar.
(fajar online, 2013) Berikut ini data perkembangan areal, produksi,
produktivitas dan rendemen tebu di Jawa Timur dalam kurun waktu 2007 – 2011 :
Tabel 1.3 Perkembangan Areal, Produksi, Produktivitas dan Rendemen Tebu di
Propinsi Jawa Timur Tahun 2007 - 2011 Tahun Giling Areal (Ha) Produksi Hablur
(Ton) Produktivitas (Kg/Ha) Rendemen)Angka Sementara (sumber :
www.disbun.jatimprov.go.id) 6 Tabel 1.4 Kontribusi Produksi Hablur Tebu Jawa
Timur terhadap Nasional Tahun 2007 - 2011 Produksi Hablur Tahun Giling Nasional
(Ton) Jawa Timur (Ton)
Angka Sementara (sumber : www.disbun.jatimprov.go.id) Tingkat Rendemen
pabrik-pabrik gula di Indonesia masih kalah dengan negara-negara lain seperti
Negara Thailand dan Brazil. Di Indonesia tingkat rendemen gula masih di bawah
8%. Sedangkan di Thailand dan Brazil tingkat rendemen gula telah mencapai
sekitar 12%- 14%. Faktor penyebab kenapa tingkat rendemen di Indonesia rendah
karena kondisi mesin pabrik yang sudah tua sejak peninggalan Belanda serta
benih tebu yang sudah tidak bagus lagi. Selain itu juga ada masalah inefisiensi
dalam industri gula nasional karena banyak bagian dari tebu terbuang saat
proses pengolahan di pabrik gula. Jadi, meskipun kualitas 7 tebu gula yang
dihasilkan lahan maksimal, karena pengolahan di pabrik gula tidak efisien maka
dipastikan rendemen pasti rendah. (Syahyuti, 2012) Pengukuran rendemen tebu
petani diukur sebelum proses pengolahan sehingga petani memperoleh rendemen
sesuai dengan mutu tebu yang dihasilkan. Ini berdasarkan rekomendasi dari Panja
Gula Komisi VI DPR RI. (http://perkebunan.litbang.deptan.go.id). Setiap tebu
para petani akan ditimbang secara terpisah pada saat menyerahkan tebu ke
pabrik, harga pembayarannya akan dihitung berdasarkan rendemen ratarata dari
tebu yang diserahkan oleh petani. Namun Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda)
Jatim Nomor 17 tahun 2012 tentang Peningkatan Rendemen Hablur Tanaman Tebu.
Rendemen gula dari tebu petani pada musim giling tahun 2013 lebih terjamin.
Angka rendemen akan mencapai angka 8%. Dan PTPN X juga yakin bahwa tahun ini
disetiap pabrik gula rendemen akan mencapai minimal 8%. Karena pada tahun 2012,
PTPN X sudah bisa mencapai ratarata rendemen 8,14%. Jadi dipastikan tahun ini
akan mengalami peningkatan rendemen. Meskipun mengalami kenaikan dalam produksi
gula tetapi terdapat masalah yang cukup kompleks yaitu biaya produksi gula yang
terus mengalami kenaikan seiring dengan kenaikan harga tebu dan upah pekerja,
dan juga laba yang tidak menjanjikan dari penjualan gula disebabkan perhitungan
daya beli konsumen dan intervensi pemerintah yang tidak menentu.
Penjualan gula ada ditangan BUMN. Pabrik-pabrik itu sendiri tidak
diperkenankan menjual gula mereka ke pasar. Setiap pabrik harus membuat laporan
keuangan tahunan kepada BUMN, dan kemudian menerima dari badan itu sebuah
laporan di mana tercantum sumbangan pabrik yang bersangkutan terhadap hasil penjualan
gula yang dilakukan oleh seksi penjualan BUMN setelah dipotong oleh semua
pengeluaranpengeluaran untuk biaya penjualan. Untuk semua pelayanan yang
dikerjakan oleh BUMN pabrik harus membayar management fee sebesar 5% dari harga
ex-pabrik. BUMN juga memungut cukai dan pajak penjualan untuk pemerintah pusat,
disamping berbagai pungutan lainnya untuk dana pembangunan, dana khusus dan
Departemen Perkebunan. (Prof. Dr. Mubyarto, 1984) Penjualan gula di Indonesia
harus melalui BUMN. Jelaslah di sini bahwa sebagian besar dari hasil penjualan
tebu yang dihasilkan oleh pabrik tidak pernah diterima oleh pabrik, melainkan
ada di tangan BUMN. Untuk hasil pungutan itu digunakan untuk membiayai struktur
administrasi di lingkungan industri gula. 9 Berikut data kontribusi PDRB Sub
Sektor Perkebunan di Jawa Timur Tahun 2007 – 2011 (ADHK) Tabel 1.5 Kontribusi
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sub Sektor Perkebunan di Jawa Timur Tahun
2007 - 2011 (ADHK) Tahun PDRB Sub Sektor Perkebunan (Trilyun Rp) PDRB Jawa
Timur (Trilyun Rp) Kontribusi
Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sub Sektor
Perkebunan di Jawa Timur Tahun 2007 - 2011 (ADHB) Tahun PDRB Sub Sektor
Perkebunan (Trilyun Rp) PDRB Jawa Timur (Trilyun Rp) Kontribusi (%) 2007 14,65
534,92 2,74 2008 16,50 618,08 2,67 2009 14,07 515,67 2,73 2010 16,10 778,45
2,07 2011* 18,47 886,14 2,09 *)Lap. Triwulan III ADHB = Atas Dasar Harga
Berlaku (sumber : www.disbun.jatimprov.go.id) Kebijaksanaan dalam hal
memasarkan gula mengalami banyak perubahan. Dahulu sebelum kemerdekaan
Indonesia ada organisasi khusus yang bernama NIVAS yang memasarkan gula hasil
pabrik-pabrik seluruh Jawa. Organisasi NIVAS berdiri otonom, lepas dari
manajemen pabrikpabrik gula. Setiap pabrik gula menyerahkan uang sebesar 1,64%
dari seluruh biaya produksi kepada NIVAS sebagai biaya dalam memasarkan gula
mereka. Karena gula merupakan komoditi perdagangan penting di pasar dunia maka
terhadap harga gula di dalam negeri. Pemerintah mengenakan berbagai pajak dan
cukai gula. Pemerintah mengharapkan 11 konsumsi gula di dalam negeri dapat
sedikit ditekan dan ekspor gula dapat diperbesar. Sekarang pemerintah menunjuk
BULOG sebagai agen tunggal dalam memasarkan gula. Ini sebagai upaya pemerintah
dalam mengatur atau menstabilisasikan harga penjualan pada tingkat eceran.
Sejak tahun 1967 kebutuhan konsumsi gula di dalam negeri tidak dapat terpenuhi
sehingga Indonesia harus mengimpor gula dari luar negeri (Prof. Dr. Mubyarto,
1984) Pada dasarnya ada dua macam sistem hubungan sewa tanah. Menurut sistem
tradisional yang diwariskan oleh Belanda, pabrik menyewa tanah, memberi upah
buruh untuk menanam sampai memotong tebu. Sistem lainnya dalam bentuk bagi
hasil, petani pemilik tanah menanam tanaman tebu itu sendiri dan menyerahkan
hasil tanamannya kepada pabrik dengan harga yang telah ditetapkan pada
permulaan musim tanam yang mulai berlaku pada tahun 1963 tetapi pada tahun 1967
sistem dalam bentuk bagi hasil ini dihapuskan. Karena para petani yang boleh
menerima sewanya dalam bentuk gula yang dihasilkan dan yang bisa dijual dengan
harga pasar bebas, biasanya memerlukan uang muka sebelum pemungutan hasil yang
dibayar dengan uang tunai atas perhitungan harga menurut penerapan pemerintah
yang tidak menguntungkan para petani. Maka dari itu pada tahun 1967 sistem bagi
hasil ini ditinggalkan. Ada juga pabrik yang membeli tebu dari petani yang
tidak terikat dari kontrak apapun dalam seperti ini, petani membayar 50% dari
hasil panennya kepada pabrik untuk pengolahan dan menerima hasil 12 pengolahan
dari 50% lainnya, dalam bentuk natura atau dalam bentuk uang tunai. (Prof. Dr.
Mubyarto, 1984). Saat ini sistem ini berlaku kembali tetapi berbeda dari yang
dahulu. Dahulu petani membayar 50% hasil panennya sekarang petani tidak perlu
membayar apapun untuk pengolahan hasil panennya. Sekarang memakai sistem bagi
hasil yang ukurannya sesuai dengan hasil rendemen tebu yang diolah di pabrik.
Akan tetapi mengingat keterbatasan informasi bagi hasil usaha tebu maka sangat
diperlukan adanya evaluasi praktik bagi hasil usaha tebu pabrik gula Gempolkrep
di Desa Gempolkrep Kecamatan Gedeg.
Hubungan kerjasama antara pabrik gula dengan petani pada umumnya
tidak selalu harmonis. Pabrik gula sebagai buruh giling dan menjual jasa
penggilingan pada para petani tebu. Sedangkan petani tebu adalah penghasil tebu
dan pembeli jasa penggilingan dari pabrik gula, sehingga antara petani tebu dan
pabrik gula tercipta pola hubungan dalam penggilingan tebu menjadi gula.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendapatkan cara yang dapat memuaskan
semua pihak yaitu petani, pabrik dan pemerintah. Pada tahun 2010 ada kenaikan
bagi hasil gula petani dari 66% naik menjadi 68%. Sedangkan bagi hasil gula
untuk pabrik gula turun dari 34% turun menjadi 32%. Berdasarkan rapat
koordinasi bidang perekonomian. Ketua umum dewan pimpinan nasional Asosiasi
Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengatakan, apabila kadar rendemen gula
petani di atas 6% dan kurang dari 7%, besaran bagi hasil gula untuk petani
tetap yaitu sebesar 66% dan 34% untuk pabrik gula. 13 Apabila kadar rendemen
gula petani 7 – 8% maka bagi hasil untuk petani naik 2% menjadi 68% dan untuk
pabrik gula turun menjadi 32%. Selain menetapkan besaran kenaikan bagi hasil
gula, pemerintah juga memutuskan menaikkan besaran bagi hasil tetes tebu dari
semula 2,5% untuk tiap 100kg tebu menjadi 3%, (kompas.com(8/5/2010)) dengan
adanya kenaikan rendemen ini diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi
masing-masing pihak baik petani tebu maupun pabrik gula Gempolkrep selain itu
juga dapat menciptakan hubungan yang lebih harmonis antara petani tebu dan pabrik
gula Gempolkrep. Pabrik Gula Gempolkrep Mojokerto merupakan sebuah perusahaan
yang bergerak dibidang agroindustry dengan hasil produksi utama berupa gula
pasir. Pabrik gula ini juga merupakan salah satu pabrik gula terbesar di
Indonesia dibawah naungan PT. Perkebunan Nusantara X. Dahulu Pabrik Gula ini
milik Belanda yaitu Suiker Pabriek Gempolkrep, dengan nama NV. CULTUUR
MAATSCHAPPIL GEMPOLKREP milik dari NV. KOOYA COSTER VAN VOOR HOUT yang
didirikan pada tahun 1849. Pada pertengan tahun 2012 lalu Pabrik Gula
Gempolkrep menghentikan produksinya, disebabkan adanya temuan pencemaran sungai
Brantas akibat tingginya kadar limbah produksi di Pabrik Gula ini. Tetapi ini
tidak berlangsung lama karena banyak desakan dari petani yang ingin
menggilingkan tebu mereka. Dan juga apabila tidak diaktifkan kembali
produksinya akan mengganggu agenda swasembada gula tahun 2014 nanti. 14 Pada
tahun 1941 hasil produksi pabrik gula Wonolangan dan Gempolkrep hampir sama,
masing-masing 1327 kw dan 1325 kw tebu. Tanaman tebu Gempolkrep lebih baik
daripada Wonolangan. Meskipun kandungan niranya lebih rendah, yaitu 82,4
dibandingkan 84,5. Kualitasnya lebih baik. Demikian juga pengaruh proses
pembuatan gula di Gempolkrep tampak lebih baik daripada Wonolangan. Andaikata
tebu Wonolangan digiling di Gempolkrep, akan diperoleh produksi lebih sebesar 4
kw/ha. Gula merupakan sumber pendapatan utama bagi PT. Perkebunan Nusantara X.
Apabila fluktuasi perolehan gula milik Pabrik Gula Gempolkrep (baik yang
berasal dari tebu sendiri maupun bagi hasil atas kemitraan dengan tebu rakyat)
dan harga berdampak luas terhadap kinerja pabrik. Keberadaan Indonesia sebagai
produsen (untuk gula kristal putih) menjadikan perubahan sekecil apapun pada
lingkungan strategis berdampak pada terbentuknya harga domestik. Sejauh
pengetahuan penulis, belum ada penelitian yang membahas mengenai bagi hasil
usaha tebu.
Di mana Dalam pembagian
hasil tebu para petani tebu merasa dirugikan dalam sistem bagi hasil yang telah
dilakukan oleh pabrik. Padahal pihak pabrik sudah mengikuti perhitungan yang
sudah ditetapkan oleh pemerintah. Ternyata ini disebabkan adanya kesalahpahaman
dari pihak petani. Oleh karena itu, agar tercipta keselarasan maka perlu adanya
evaluasi praktik bagi hasil usaha tebu di Pabrik Gula Gempolkrep Mojokerto
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang diuraikan di atas maka dapat dibuat perumusan
masalah yaitu bagaimana praktik bagi hasil di Pabrik Gula Gempolkrep. ?
1.3
Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui kebijakan bagi hasil usaha tebu di Pabrik Gula Gempolkrep
2.
Mengetahui praktik bagi hasil yang diterapkan di Pabrik Gula Gempolkrep dalam
perspektif Islam.
1.4
Kegunaan Penelitian
Dari
penelitian ini selain diharapkan berguna bagi penulis sendiri juga dapat
berguna bagi pihak lain yaitu pabrik yang bersangkutan dan pihak lain yang
melakukan penelitian lebih lanjut mengenai masalahmasalah yang berkaitan dengan
pembagian hasil usaha tebu. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1.
Bagi Penulis Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan baik teori
maupun praktik dibidang bagi hasil usaha tebu.
2.
Bagi Pabrik Gula Gempolkrep Penelitian ini dapat memberikan beberapa informasi
mengenai evaluasi praktik dalam pembagian hasil usaha tebu antara pihak pabrik
dengan pihak petani. Dengan demikian penelitian ini dapat memberikan kontribusi
bagi perusahaan dalam membagi hasil usaha tebu.
3. Bagi Petani
Para petani tidak akan merasa resah lagi tentang bagi hasil gula karena adanya
transparansi bagi hasil usaha tebu..
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Akutansi : Evaluasi praktik bagi hasil usaha tebu di pabrik gula Gempolkrep Mojokerto dalam perspektif Islam..." silakan klik link dibawah ini
No comments:
Post a Comment